Kamis, 30 April 2015

Syaikh Nawawi Banten

Kemasyhuran dan nama besar Syaikh Nawawi Banten kiranya tidak perlu diragukan lagi. Bahkan sering terdengar di identikan kebesarannya dengan Imam Nawawi (Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarof Annawawi (wafat 676 H/1277 M). Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dalam sejarah berdirinya organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yaitu NU, maka Syaikh Nawawi Banten adalah guru besarnya. Pernah suatu ketika KH. Hasyim Asy’ari bercerita tentang kehidupan Syaikh Nawawi dan mengenangnya sampai meneteskan airmata karena besarnya cinta beliau terhadap guru besarnya itu.

Syaikh Nawawi Banten lahir di Desa Tanara Serang Banten, pada tahun 1230 H/1815 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Nawawi bin Umar Ibnu Arobi bin Ali. Beliau Meninggal di Makkah pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M, dalam usianya yang ke 84 tahun. Beliau di makamkan di ma’la dekat makam Sayyidah Siti Khodijah Istri Rasulullah saw.

Sewaktu kecil beliau sempat belajar kepada ayahandanya sendiri. Kemudian pada usia 15 tahun, beliau pergi ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Rupanya kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh beliau untuk belajar dan memperdalam ilmu kalam, nahwu, shorof, balaghoh, mantiq, ilmu hadits, tafsir dan terutama sekali ilmu fiqh, kepada tokoh-tokoh ulama’ pada zamannya, diantaranya adalah, Syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyathi, Syaikh Muhammad Khotib Duma Alhambali, Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Almaliki, Syaikh Zainuddin Lombok, Syaikh Ahmad Khothib Sambas, Syaikh Syihabuddin, Syaikh Abdul Ghoni Birma, Syaikh Abdul Hamid Daghostani, Syaikh Yusuf Sumbulawini, Syaikh Abdus Shomad bin Abdur Rahman Palembang, Syaikhoh Fathimah binti Syaikh Abdus Shomad Palembang, Syaikh Yusuf bin Arsyad Banjar, Syaikh Mahmud Kinan Palembang, Syaikh Aqib bin Hasanuddin Palembang dan lain-lain.
Setelah kurang lebih tiga tahun lamanya belajar di Makkah, Syaikh Nawawi kembali ke Tanah air dengan bekal khazanah ilmu agama yang sangat memadai untuk membantu ayahnya mengajar santri-santri di Pesantrennya. Namun keberadaan beliau di Tanah air ini tidak begitu lama, karena selang beberapa tahun beliau memutuskan kembali lagi ke Makkah dan menetap disana.

Di Makkah beliau memperdalam lagi ilmu-ilmu agamanya selama kurang lebih 30 tahun, dan pada tahun 1860, beliau mulai mengajar dilingkungan Masjidil Haram, kemudian pada tahun 1870 kesibukannya bertambah dengan kegiatan menulis dan mengarang kitab. Selama hidup, beliau mengarang hampir 200 an kitab, namun hanya beberapa saja yang sudah berhasil diterbitkan, diantaranya adalah, Targhibul Musytaqin, Fatchus Shomadil ‘Alim, Madarijus Su’ud ila Iktisa’il Burud, Syah Muroqil Ubudiyyah, Hidayatul Adzkiya’ ila Thoriqil Auliya’, Fatchul Majid fi Syarhi Durril Farid, Bughyatul ‘Awam fi Syarhi Maulidi Sayyidil Anam, Syarah Tijan Darori, Syarah Mishbahuldz Dzulmi ‘Alan Nahjil Atammi, Nashoihul Ibad, Hidayatus Shibyan Syarah Fathur Rahman fi Tajwidil Qur’an, Qothrul Ghoits fi Syarhi Masaili Abil Laits, Mirqodus Su’udit Tashdiq Syarah Sulam Taufiq, Atstsimarul Yani’ah fir Riyadlil Badi’ah, Tanqihul Qoulil Hatsits fi Syarhi Lubabil Hadits, Bahjatul Wasa’il bi Syarhi Masail, Fathul Mujib Syarah Manasikil ‘Allamah Alkhothib, Nihayatuz Zain Irsyadil Mubtadiin, Alfushushul Yaqutiyyah ‘alar Raudlotil Bahiyyah fi Abwabit Tashrifiyyah, dan lain-lain.

Syaikh Nawawi Banten adalah salah seorang ulama’ yang luar biasa, santun, produktif dan merupakan sosok teladan bagi anak bangsa, juga termasuk orang yang berhasil memprkenalkan teologi Asy’ariyyah sebagai sistem teologi yang kuat dinegeri ini. Menurut beliau tentang dalil naqli dan dalil ’aqli seharusnya digunakan bersama-sama, tetapi jika terjadi pertentangan diantara keduanya maka dalil naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh dalil naql.
Sumber, Risalah NU, Mutiara Ulama’ Nusantara dan dari sumber-sumber lain.