Senin, 07 September 2015

Thoriqoh Oadiriyah, Pendiri dan Sejarahnya

a. Pendiri dan Sejarah Thoriqoh Qadiriyah

Syekh Abdul Qadir lahir pada tahun 470 H/1077 M. di Desa Naif, Kota Gilan, terletak 150 km timur laut Bagdad. Beliau lahir dari seorang ibu yang salihah bernama Fatimah binti Abdullah ash-Shama’i al-Husayni. Ketika melahirkan Abual Qadir al-Jailani, sang ibu sudah berumur 60 tahun yang tidak lazim bagi seorang wanita untuk melahirkan. Ayahnya bernama Abu Shalih. Jauh hari sebelum kelahirannya, ayahnya bermimpi bertemu Nabi Muhammad saw. dan para sahabat. Sang ayah meninggal pada sa'at usia Abdul Qadir masih sangat belia sehingga ia pun dibesarkan oleh kakeknya.

Syekh Abdul Qadir ,meninggal di Bagdad pada tahun 561 H/1166 M. Makamnya sejak dahulu hingga sekarang diziarahi oleh manusia dari segala penjuru dunia Islam. Di kalangan kaum sufi. Syekh Abdul Qadir diakui sebagai sosok yang menempati hierarki kewalian tertinggi, Syekh Abdul Qadir adalah wali yang dikagumi dan dicintai rakyat. Di mana-mana orang tua menceritakan kemuliaan Sang Syekh kepada anak-anak mereka, bahkan hampir di setiap upacara keagamaan tradisional, semua orang menghadiahkan pembacaan al-Fatihah kepadanya.

Nama lengkap dan silsilah Syekh Abdul Qadir sampai kepada Nabi Muhammad saw. adalah Abu Muhammad Abdul Qadir al-Jailani bin Abi Shalih bin Musa bin Janki Dusat (Janka Dusat) bin Abi Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Musanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Talib dan Fathimah az-Zahra binti Rasulullah saw.

Silsilah dalam tradisi Thoriqoh merupakan persoalan yang sangat penting. Artinya, dalam tradisi Thoriqoh darah biru spiritual harus bersambung sampai kepada Nabi Muhammad saw. Di samping itu, bersambungnya silsilah tersebut merupakan indikator bahwa Thoriqoh tersebut dianggap mu’tabar. Oleh karena itu, di Indonesia, terutama di kalangan Nahdlatul Ulama, ada kumpulan Thoriqoh yang mu’tabarah, yaitu Thoriqoh yang memiliki silsilah yang bersambung sampai kepada Nabi Muhammad saw.

b. Pandangan-Pandangan Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Menurut pandangan Syekh Abdul QadirÙ  al-Jailani, manusia dibagi menjadi empat kategori.
  • Kategori pertama adalah orang-orang yang tidak mempunyai hati dan lidah. Mereka adalah mayoritas masyarakat yang tidak peduli pada kebenaran dan keutamaan, yang hanya tunduk pada indra fisik.
  • Kategori kedua adalah orang-orang yang mempunyai lidah, tetapi tidak mempunyai hati. Mereka ini adalah orang yang terpelajar dan memiliki retorika yang bagus, yang selalu menganjurkan umat untuk berbuat baik dan benar, tetapi mereka sendiri berbuat tidak sesuai dengan perkataan, bahkan kebalikannya. Inilah orang yang bicaranya sangat menarik, tetapi hatinya jelek.
  • Kategori ketiga adalah orang-orang yang mempunyai hati, tetapi tidak mempunyai lidah. Mereka inilah mukmin sejati, yang selalu sadar akan kekurangan dan kelemahan sehingga mereka berusaha terus menyucikan diri dari hal-hal yang kotor. Bagi mereka, diam lebih baik daripada berbicara, tetapi membingungkan umat.
  • Kategori keempat adalah orang-orang yang memiliki hati dan lidah. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pengetahuan sejati, yang dilengkapi bimbingan Allah Swt. dan menjadi penyambung kenabian. Mereka adalah kelompok yang tertinggi setelah kelompok para nabi.
Keutamaan Syekh Abdul Qadir al-Jailani sebenarnya sudah tampak sejak bayi. Semasa bayi, beliau tidak mau menyusu di siang hari kepada ibunya selama bulan Ramadan, bahkan diceritakan bahwa seseorang bisa mengetahui awal bulan Ramadan ketika menyaksikan Syekh Abdul Qadir tidak mau menyusu di siang hari. Adapun ide mistik dan religius Syekh Abdul Qadir al-Jailani termuat dalam karya-karyanya berikut.

  • Al-Gunya li-Tholibi Tariq al-Haqq, yang dikenal umum dengan nama Gunya at-Talibin. Sebuah karya komprehensif tentang kewajiban yang diperintahkan agama Islam dan jalan hidup yang islami.
  • Al-Fath ar-Rabbani adalah sebuah rekaman dari 62 khotbahnya 545-546 H/ 1150-1152 M.
  • Futuh al-Gaib adalah sebuah rekaman dari 78 khotbahnya yang dikumpulkan putranya, Abdur Razzaq.

c. Ajaran dan Praktiknya

Thoriqoh Qadiriyah didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir Jailani al-Bagdadi pada tahun 1180 H/1669 M. Thoriqoh ini berpusat di Irak dan Syria serta berkembang sejak abad XIII, terkenal di dunia sejak abad XV M. Ajarannya tidak berbeda dengan ajaran pokok Islam, terutama golongan Ahlus Sunnah wal lama’ah. Syekh Abdul Qadir menghargai para pendiri mazhab fikih yang empat dan teologi Asy’ariyah. Ajarannya menekankan pada tauhid dan akhlak yang terpuji.

Adapun bentuk dan karakter Thoriqoh Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah tauhid, sedangkan pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir dan batin. Salah satu perkataan Syekh kepada para sahabatnya, “Kalian jangan berbuat bidah, taatlah kalian, dan jangan menyimpang.”. Perkataan lainya, “Jika padamu berlaku sesuatu yang telah menyimpang dari batas-batas syariat, ketahuilah bahwa kalian dilanda fitnah dan setan telah mempermainkanmu. Oleh karena itu, kembalilah pada hukum syariat dan berpeganglah, lalu tinggalkan hawa nafsu karena segala sesuatu yang tidak dibenarkan syariat adalah batil.”. Penekanan ajaran Syekh Abdul Qadir tertuju pada penyucian diri dari nafsu dunia.

Adapun ajarannya adalah sebagai berikut.
a.    Tobat. Tobat adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus-menerus dari hati, kemudian melaksanakan setiap hak Tuhan. Ibnu Abbas r.a. berkata, ”Tobat nasuha adalah penyesalan dalam hati, permohonan ampun dengan lisan, meninggalkan dengan anggota badan, dan berniat tidak akan mengulangi lagi.”
Jadi, tobat nasuha tidak hanya di mulut yang menyatakan penyesalan dan pertobatan, sementara hati tidak mengikuti apa yang dikatakan oleh mulut, tidak sungguh-sungguh bermaksud untuk menghentikan perbuatan-perbuatan dosa, dan tidak melakukan tindakan nyata untuk menghentikannya.
Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, tobat itu ada dua macam sebagai berikut.
  • Tobat yang berkaitan dengan hak sesama manusia. Tobat ini tidak terealisasi, kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan kepadapemiliknya.
  • Tobat yang berkaitan dengan hak Allah. Tobat ini dilakukan dengan cara selalu mengucapkan istigfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekad untuk tidak mengulanginya di masa mendatang.
b.    Zuhud. Secara bahasa zuhud adalah zahada fihi, wa zahada ‘ariku, dan wa zahadan, yaitu berpaling darinya dan meninggalkan karena menganggapnya hina atau menjauhinya karena dosa. Adapun secara istilah-pendapat yang paling baik adalah menurut Ibnu Qadamah al-Maqdisi-zuhud adalah menghindari dari mencintai sesuatu yang menuju sesuatu yang lebih baik darinya. Atau dengan istilah lain, menghindari dunia karena tahu kehinaannya jika dibandingkan dengan kemahalan akhirat. Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, zuhud terbagi menjadi dua macam, yaitu, zuhud hakiki (mengeluarkan dunia dari hatinya) dan zuhud suwari atau zuhud lahir (mengeluarkan dunia dari hadapannya). Namun, hal ini tidak berarti bahwa seorang zahid hakiki menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi dia mengambilnya, lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah.

c.  Tawakal. Tawakal atau tawakkul dalam bahasa Arab berarti berserah diri. Sifat ini adalah salah satu sifat mulia yang harus ada pada diri ahli sufi. Jika ia telah benar-benar mengenal Tuhannya melalui makrifat yang telah dicapainya, tidak mungkin sifat tawakal tersisih dari dirinya sebab mustahil jika seorang sufi yang selalu berada di sisi Tuhan tidak memiliki jiwa tawakal. Syekh Abdul Qadir menekankan bahwa tawakal berada di antara pintu-pintu iman. Iman tidak akan terurus baik, kecuali dengan ilmu, hal, dan amal. Intinya, tawakal akan terasah dengan ilmu dan ilmu menjadi pokok tawakal, sementara amal adalah buah tawakal. Adapun hal adalah buah dan maksud tawakal itu sendiri. Dengan demikian, hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dengan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk, dan patuh pada hukum dan.takdir. Jadi, hatinya merasa tenang dan nyaman dengan janji Tuhannya. Syekh Abdul Qadir menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip maksud sebuah sabda Nabi saw., “Jika seorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, Allah akan mengaruniakan apa saja yang dimintanya. Begitu juga sebaliknya, jika dengan bulat ia menyerahkan dirinya pada dunia, Allah akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia”

d.   Syukur. Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima dari Allah Swt., baik secara lisan, perbuatan, maupun hati. Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh pada syariat-Nya. Hakikat syukur adalah mengakui nikmat yang diberikan Allah, lalu mematuhi syariat-Nya. Jadi, syukur adalah pekerjaan hati dan anggota badan.

Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, macam-macam syukur adalah sebagai berikut.
  • Syukur dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal ini, penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ketundukan.
  • Syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara mengabdi dan melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah. Dalam hal ini, penerima nikmat selalu berusaha menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
  • Syukur dengan hati, yaitu beriktikaf atau berdiam diri di atas tikar Allah dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan. Dalam hal ini, penerima nikmat mengakui dari dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah Swt.
e.  Sabar. Sabar berasal dari kata (صبز يصبر صبرا). Artinya, mencegah dan menghalangi. Secara istilah. Sabar adalah menahan diri untuk tidak berkeluh kesah, mencegah lisan untuk merintih tidak mengeluh karena sakitnya musibah yang menimpa kita, kecuali mengeluh kepada Allah karena Allah Swt. menguji, sebagaimana yang terjadi pada diri Nabi Ayyub a.s. Allah Swt. berfirman: Artinya: ...Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar....(Q.s. Sad/38: 44). Nabi Ayub a.s.. berdoa dan mengeluh kepada Allah agar menghilangkan musibah yang menimpanya. Dikisahkan dalam firman Allah Swt., Artinya: Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (Q.S. al-Anbiya721: 83).

Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, macam-macam sabar adalah sebagai berikut.
  • Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
  • Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan- Nya dari berbagai macam kesulitan dan musibah yang menimpadiri.
  • Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.
f.    Ridla. Ridla adalah kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan (takdir) dengan berserah diri dan pasrah tanpa menunjukkan pertentangan terhadap apa yang dilakukan oleh Allah. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an. Artinya: Tuhan menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat, keridaan dan surga, mereka memperoleh kesenangan yang kekal di dalamnya. (Q.S. at-Taubah/9: 21). Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Yang akan merasakan manisnya iman adalah orang yang rida Allah menjadi Tuhannnya, Islam menjadi agamanya, dan Muhammad menjadi rasulnya.”

g.  Jujur. Arti jujur secara bahasa adalah menetapkan hukum sesuai dengan kenyataan. Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apa pun, baik menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan. Kejujuran merupakan derajat kesempurnaan manusia tertinggi. Seseorang tidak akan berlaku jujur, kecuali jika dia memiliki jiwa yang baik, hati yang bersih, pandangan yang lurus, sifat yang mulia, lidah yang bersih, serta hati yang dihiasi dengan keimanan, keberanian, dan kekuatan. Kejujuran adalah kedudukan yang tertinggi dan jalan yang paling lurus. Dengan jujur, kita dapat membedakan antara orang munafik dan orang yang beriman. Kejujuran adalah roh perbuatan, tiang keimanan, dan satu tingkat di bawah derajat kenabian. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an. Artinya Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar (Q.S. at-Taubah/9: 119).