Sabtu, 06 Februari 2016

Aliran Syi'ah

Pengertian Syi’ah dan Sejarah Awal Kemunculannya

Syi'ah menurut bahasa berarti “golongan atau kelompok”, atau berarti “pengikut atau pendukung”. Sedangkan menurut isthilah, syi’ah adalah Golongan yang memuja-muja Sayyidina Ali bin Abi Tahlib dan keturunannya. Mereka menganggap Sayyiddina Ali-lah yang paling berhak menjadi Khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pelopor gololngan ini adalah Abdullah bin Saba’ pendeta Yahudi asal Yaman yang masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.
Berawal dari rasa sakit hati karena kedatangannya di Madinah tidak disambut oleh Khalifah Utsman bin Affan, Abdullah bin Saba’ kemudian mengadakan oposisi dengan mengeluarkan isu-isu provokatif bahwa sesungguhnya yang berhak menjadi kholifah sepeninggal rasullah SAW adalah Ali bin Abi Thalib, sementara ketiga Khalifah sebelumnya tidak sah secara hukum. Mereka ini menamakan diri pecinta Ahlul Bait (keluarga Nabi) dan Syi’ah Ali (pengikut atau pendukung Ali). Namun mereka masih fakum pada masa Utsman bin Affan .
Golongan Syi’ah ini baru intens dan berkembang pada masa pemerintahan Sayyidina Ali, ketika konflik antara Sayyidina Ali dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan kian memanas, muncullah kembali  Abdullah bin Saba’ dengan memperlihatkan kecintaannya terhadap Sayyidina Ali sambil berusaha memanfaatkan konflik sebagai alat untuk memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam. Kemudian pada masa kholifah Bani Umayyah, golongan ini semakin berkembang pesat, meskipun akhirnya timbul pergolakan dan terpecahlah mereka menjadi beberapa sekte.

B.        Abdullah bin Saba’ dan Usahanya Menyebar Fitnah dan Kerusakan
Abdullah bin Saba’ adalah seorang pembohong besar, seorang yahudi yang pura-pura masuk Islam. Dalam berbagai Literatur, Ia disebut-sebut sebagai tokoh yang banyak berperan dalam memecah belah umat Islam. Para pakar sejarah, banyak yang mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah seorang yahudi yang selalu berkeliaran dari kota satu ke kota lainnya, dari desa satu ke desa lainnya guna menghasut dan memperdaya manusia, berusaha mengobarkan kebencian umat Islam terhadap Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman dan sahabat-sahabat Rasulullah SAW lainnya. sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Tarikh At-Thobari, bahwa Abdullah bin Saba’ selalu menyebarkan fitnah dengan isu-isu profokatif dari Madinah ke Mesir dan terus ke Basroh. Tetapi saat di Basroh, Ia di usir oleh Hakim bin Jiblah, lalu Ia lari ke Kufah, kemudian ke Fustat. Di manapun Ia berada, penduduk tempat itu sedikit atau banyak dapat di prediksi terkena wabah fitnah yang Ia sebarkan. Masih dalam kitab Tarikh At-Thobari, Imam at-Thobari berkata, “Bahwa Abdullah bin Saba’ pernah datang ke Syam menemui Abu Dzar guna menghasutnya, agar menentang Mu’awiyah. Katanya (Abdullah bin Saba’), “Mu’awiyah telah berkata, bahwa harta adalah harta Allah, ketahuilah! Apapun itu adalah milik Allah, Ia kumpulkan dan Ia simpan harta itu untuk dirinya sendiri bukan untuk umat Islam. Dia juga pernah mendatangi Abu Darda’, tetapi pada saat Ia mencoba menghasut Abu Darda’, Abu Darda’ berkata kepadanya “Engkau siapa? Aku yakin demi Allah, bahwa engkau adalah orang Yahudi.
Dalam kitab Rijalul Kasyi, Al-Kasyi, seorang yang sangat di hormati di kalangan orang-orang Syi’ah mengatakan, “Dari Abdullah bin Sinaan, Ia berkata, Abu Abdullah (Ja’far) Alaihis Salam telah berkata, “Kami ahlul bait (keluarga Nabi SAW) adalah orang-orang yang benar. Tetapi seseorang senantiasa membuat banyak kebohongan tentang kami, sehingga kebenaran kami tertutupi oleh kebohongan itu. Rasulullah SAW adalah sebenar-benarnya manusia dalam perkataannya, orang yang paling benar diantara makhluq-makhluq ciptaan Allah. Tetapi Musailamah al-Kadzab itu telah membuat kebohongan tentang beliau. Begitu juga Amirul Mu’min (Ali) Alaihis Salam, adalah manusia yang paling benar setelah Rasulullah SAW, bersih dari dosa semata-mata karena Allah. Tetapi Abdullah bin Saba’ telah membuat banyak kebohongan tentangnya, berusaha untuk mendustakan kebenarannya. Abdullah bin Saba’ lah yang telah membuat kebohongan itu.
Begitulah sedikit gambaran Abdullah bin Saba’, Gembong sekaligus Tokoh utama Syi’ah yang tidak lagi bisa di pungkiri kepiawaiannya dalam menghasut, mengadu domba dan membohongi orang lain. Na’uuzhu billahi min zhalik.

C.        Sekte-sekte Syi’ah dan Orang-Orang yang di Tokohkannya
Sebab-sebab perpecahan golongan Syi’ah diantaranya adalah :
1.       Karena mereka berbeda ajarannya. Di antaranya ada yang berpaham ekstrim dengan mendewa-dewakan atau mensucikan imam-imam mereka dan mengkafirkan pihak lain, sebut saja diantaranya adalah Syi’ah Ghurabiyah, yaitu yang berpendapat bahwa kerasulan sebenarnya adalah hak Ali bin Abi Tholib, tetapi Malikat Jibril keliru waktu datang menyampaikan wahyu. Syi’ah Sabaiyah, yaitu pengikut-pengikut Abdullah ibn Saba’ yang menganggap Sayyidina Ali sebagai tuhan. Dan ada pula yang berpaham moderat yang hanya mengangap keliru, tanpa mengkafirkan terhadap orang-orang yang mempunyai paham lain, seperti Syi’ah Zaidiyah yang dipimpin Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Tholib. Sekte ini tidak terlalu jauh berbeda dengan faham aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, hanyasaja mereka beranggapan bahwa Sayyidina Ali lebih utama daripada Abu Bakar, Umar dan Utsman Rodliyaallu ‘Anhum.
2.     Karena keturunan Sayyidina Ali bin Abi Tholib dan para puteranya banyak, maka sering terjadi perbedaan dalam menentukan mana yang berhak menjadi imam dan mana yang tidak. Diantara mereka ada yang beranggapan bahwa yang lebih berhak menggantikan Husein menjadi Imam adalah putera Sayyidina Ali yang bukan dari Fatimah binti Rasulullah SAW, yaitu Muhammad Ibn Hanafiyah, sekte ini lalu dikenal dengan nama Kaisaniyah, sementara yang lainnya berpendapat bahwa yang berhak menggantikan Husein ialah Ali Zainal Abidin (wafat tahun 94 H), keturunan Sayyidina Ali yang dari Fathimah.
      Setelah Imam ke-empat wafat, yaitu Ali Zainal Abidin, sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa pengganti Ali Zainal Abidin adalah Zaid bin Ali bin Husein, sekte ini kemudian dikenal dengan Syi’ah Zaidiyah. Sementara yang lainnya berpendapat bahwa yang harus menggantikan Ali Zainal Abidin adalah Abu Bakar Muhammad al-Baqr, sekte ini kemudian dikenal dengan Syi’ah Imamiyah,
       Sesudah imam keenam, yaitu Abu Abdilah Ja’far Shadiq wafat pada tahun 148 H. Syi’ah imamiyah terbagi menjadi dua sekte yaitu, Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah Sab’iyah, Sekte ini hanya mengakui bahwa imam itu hanya ada tujuh, dan imam yang ketujuh itu adalah Ismail Ibn Ja’far. Dan Syi’ah Ja’fariyah atau Syi’ah Itsna Asyariyah. Sekte yang kedua ini mengakuai bahwa Musa al Kadzim-lah yang menjadi Imam ke tujuh sebagai pengganti Ja’far Shadiq. Mereka juga berkeyakinan bahwa Imam mereka itu berjumlah dua belas dan yang terakhir bernama Muhammad bin Hasan Al-Mahdi yang hilang ketika berusia lima tahun, serta dinantikan dan diyakini kehadirannya kelak dikemudian hari/menjelang Hari Kiamat.
Jelasnya, bahwa sekte Syi’ah ternyata cukup banyak, bahkan sampai 22 sekte. Dari 22 sekte tersebut yang masih bertahan sampai sekarang hanya dua sekte saja, yaitu,
1.       Syi’ah Zaidiyah adalah sekte Syi’ah pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Mereka tergolong Syi’ah yang moderat, karena tidak berpendapat bahwa Ali dan keturunannya yang berkhak menjadi Khalifah. Mereka juga tidak memvonis, bahwa ketiga khalifah itu tidak sah. Mereka juga berpendapat bahwa Imam itu harus dari keturunan Ali-Fathimah, namun tidak menolak dari golongan lain apabila memang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Oleh karena itu mereka mengakui Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, walaupun menurut urutan prioritas seharusnya Ali yang harus menjadi Khalifah. Imam tidak ma’shum. Sebagai manusia dapat saja ia berbuat salah dan dosa, seperti manusia lain. Tidak ada Imam dalam kegelapan yang diliputi oleh berbagai misteri. Mereka tidak mengajarkan “taqiyah” yaitu sikap pura-pura setuju tetapi batinnya memusuhinya. Mereka mengharamkan nikah mut’ah.
2.        Syi’ah Rofidloh. Kata Rofidloh berasal dari kata “Rofadloh” yang artinya menolak atau meninggalkan. Sekte ini mulannya adalah sekelompok orang syi’ah Zaidiyah asal kuffah yang membuat rumor bahwasanya Imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Tholib mengatakan “Bahwa Abu Bakar dan Umar adalah orang-orang yang lalim dan telah berbuat kejam terhadap Sayyidina Ali”. Mendengar ini Imam Zaid bin Ali bin Husein menyangkal rumor tersebut dengan perkataannya “Aku sama sekali tidak pernah berkata begitu, bahkan aku menganggap Abu Bakar dan Umar adalah orang-orang baik, seperti itu pula-lah yang aku dengar sendiri dari ayahku, keduanya dulu juga orang-orang yang getol membantu datukku”. Mendengar pernyataan Imam Zaid seperti itu, mereka lalu meninggalkan dan memisahkan diri dari Imam Zaid. Sehingga Imam Zaid berkata “Rofadl-tumuuni” (Kalian telah meninggalkanku). Sejak itulah mereka dikenal dan populer dengan julukan “Rofidloh”, yaitu julukan bagi orang-orang yang meninggalkan dan menolak pernyataan Imam Zaid. Selain itu mereka juga menolak keabsahan kholifah Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan mereka menetapkan bahwa hanya Ali bin Abi Tholib lah yang berhak menggantikan Rasulullah SAW, mereka pun menganggap bahwa para Imam itu ma’shum terhindar dari berbuat salah. Dan pada akhirnya mereka dikenal juga dengan sebutan Syi’ah Imamiyah yang kemudian terpecah lagi menjadi dua, yaitu,
  • Syi’ah Isma’iliyah atau Syi’ah Sab’iyah adalah sekte syi’ah yang mempercayai bahwa imam itu hanya ada tujuh, yaitu mulai dari imam pertama, Ali bin Abi Thalib sampai imam yang ketujuh. Akan tetapi dalam kepercayaan mereka, imam yang ketujuh itu bukan Musa al-Kazhim bin Ja’far al-shadiq seperti yang dipercaya oleh Syi’ah itsna Asyariyah, melainakan Ismail bin Ja’far.
  • Syi’ah Ja’fariyah atau Syi’ah Itsna Asyariah. Penamaan ini karena mereka mempunyai kefahaman bahwa yang berhak memimpin umat Isalm adalah, 1. Ali bin Abi Thalib, 2. Hasan bin Ali bin Abi Thalib, 3. Husein bin Ali bin Abi Thalib, 4. Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, 5. Muhammad Baqir bin Ali bin Zaenal Abidin, 6. Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-baqir, 7. Musa al-Kazhim bin Ja’far al-Shadiq, 8. Ali al-ridha bin Musa Al-Kazhim, 9. Muhammad Al-Jawwad bin Ali al-Ridha, 10. Ali Muhammad bin Ali al-Ridha 11. Hasan bin Ali bin Muhammada Al-Askari dan 12. Muhammad bin Hasan Al-Mahdi yang hilang ketika berusia lima tahun, serta dinantikan dan diyakini kehadirannya kelak dikemudian hari/menjelang Hari Kiamat.
D.       Pokok-Pokok Ajaran Syi’ah Imamiyah
Telah banyak disebutkan dalam literatur Syi’ah Imamiyah (Rofidloh), baik yang Isma’iliyah atau yang Ja’fariyah. Seperti al-Kafi lil Kulaini, al-Ihtijaj lit Tibrisi, al-Istibhar lit Thusi, Kasyful Ghummah lil Ardabulli, al-Amali libni Babawaih dan lain-lain, bahwa pokok-pokok ajaran Syi’ah Imamiyah dapat disimpulkan diantaranya sebagai berikut,

a.  Tentang al-Qur’an
Al-Qur’an yang ada sekarang ini (Mushaf Utsmani) menurut mereka banyak perubahan dan kekurangannya, dan mereka menuduh Sayyidina Utsman yang merubah dan menguranginya, diantaranya adalah tidak ada Surat Wilayah atau Surat Wishoyah. Padahal merekalah sendiri yang menambah dan merubah al-Qur’an. Mereka menyebut Qur’an Mereka dengan sebutan Mushaf Fatimah, yang sampai sekarang ini masih ditangan al-Qo’im, yaitu imam ketujuh (menurut syi’ah Sab’iyyah) dan imam kedua belas (menurut syi’ah Itsna Asyariyah).
Kepercayaan Syi’ah bahwa al-Qur’an telah banyak perubahan dan kekurangannya, sama halnya mereka tidak mempercayai jaminan Allah SWT terhadap al-Qur’an, dan ini berarti mereka tidak percaya akan kekuasaan Allah. Dalam Surat al-Hjr ayat 9 Allah SWT berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sungguh Kami (Allah)-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami juga-lah yang memeliharanya”.
Dalam Surat yang lain, yaitu Surat Fushshilat ayat 42, Allah pun berfirman,

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang maha bijaksana lagi maha terpuji”.

b. Wishayah
Wishayah dalam doktrin Syi’ah bukanlah pencalonan atau pemilihan namun “pengangkatan” yang dilakukan oleh Nabi. Mereka meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah mewasiatkan bahwa pengganti beliau adalah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa pengangkatan ini berdasarkan pada hadits yang terkenal dengan hadits Ghadir Khum, yaitu, “Man Kuntu Maulahu Fa ‘Aliyyun Maulaahu”. Hadits ini sangat populer di kalangan Syi’ah karena menurut mereka hadits ini adalah sebagai bukti dan dalil bahwa Sayyidina Ali ditunjuk langsung oleh Nabi sebagai khalifah sesudahnya.
Klaim golongan Syi’a seperti ini adalah klaim yang tidak effair dan mudah menjerumuskan orang awam. Oleh karena itu perlu diluruskan apa dan bagaimana maksud hadits Ghadir Khum tersebut. Yang jelas hadits ini jauh panggang dari api jikalau di artikan sebagai penunjukan langsung dari Rasulullah SAW kepada Sayyidina Ali sebagai kholifah.
Pada tahun 10 H, Rasulullah SAW beserta para sahabat berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan Ibadah Haji (Haji Wada’). Bersamaan dengan itu, rombongan kaum muslimin yang dipimpin oleh Sayyidina Ali bin Abi Tholib yang di kirim oleh Rasulullah SAW ke Yaman, telah kembali dan mereka langsung menuju ke kota Mekkah untuk bergabung dengan Rombongan Rasulullah. Begitu Rombongan sudah mendekati tempat dimana Rasulullah berada, Sayyidina Ali segera memasrahkan rombongannya kepada Buraidah, sedangkan beliau pergi menemui dan melapor kepada Rasulullah. Sepeninggal Sayyidina Ali, Buraidah langsung membagi-bagikan pakaian hasil rampasan perang yang masih tersimpan ditempatnya, tujuannya agar rombongan kelihatan rapi saat masuk kota dan bertemu dengan yang lain. Namun begitu Sayyidina Ali kembali dari menemui Rasulullah dan menghampiri rombongannya, beliau terkejut dan langsung marah-marah, sembari perintah agar pakaian-pakaian yang baru saja dipakai oleh mereka itu dilepas dan di kembalikan ketempatnya. Karena menurutnya yang berhak membagi-bagi hanyalah Rasulullah SAW. Namun tindakan Sayyidina Ali tersebut membuat sebagian anak buahnya kecewa.
Ketika rombongan sampai di tempat Rasulullah SAW, Buraidah segera menghadap Rasulullah dan melaporkan kejadian yang baru saja mereka alami, sambil sesekali menjelek-jelekan Sayyidina Ali. Mendengar laporan dari Buraidah, muka Rasulullah menjadi berubah, karena beliau tahu bahwa tindakan Sayyidina Ali tersebut benar. Kemudian Rasulullah bersabda “Wahai Buraidah! Apakah Aku tidak lebih utama (untuk dicintai dan diikuti) oleh orang-orang mu’min daripada diri mereka sendiri?”. Buraidah Menjawab, “Benar Ya Rasulullah”. Lantas Rasulullah kembali bersabda,

مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاَهُ (رواه الترمذى والحكيم)
Barang siapa menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali-pun juga pemimpinnya”. (HR. Turmuzhi dan al-Hakim).
Selanjutnya setelah Rasulullah dan rombongan selesai dari mengerjakan Ibadah Haji, pada saat sampai di tempat yang bernama Ghadir Khum, Rasulullah SAW berkhotbah yang diantara isinya yaitu Rasulullah mengulangi hadits tersebut (Man Kuntu Maulahu Fa ‘Aliyyun Maulaahu). Hal ini karena tidak hanya Sayyidina Ali dan Buraidah saja yang berselisih pendapat, tetapi juga ada sebagian rombongan yang masih tidak puas dan kecewa terhadap tindakan Sayyidina Ali pada saat itu. Oleh karenanya Rasulullah SAW mengulangi lagi sabdanya kepada Buraidah didepan khalayak ramai, agar permasalahan tersebut tidak berlarut-larut dan dapat segera selesai.
Dari alur cerita hadits Ghodir Khum diatas, dapat dipahami bahwa hadits tersebut tidak ada hubungannya dengan wasiat pengangkatan Rasulullah terhadap Sayyidina Ali sebagai kholifah, akan tetapi hanya sebagai penekanan atau pemantapan atas kepemimpinan Sayyidina Ali terhadap rombongan yang di utus Rasulullah ke Yaman. Demikian ini karena jika hadits Ghodir Khum diatas di pahami seperti kepahaman orang-orang Syi’ah, maka konsekwensinya, tidak hanya Abu Bakar, Umar dan Utsman saja yang di cap sebagai pembangkang terhadap wasiat dan perintah Rasulullah SAW, tetapi Sayyidina Ali-pun juga seperti itu, karena mereka berempat sama-sama membangkang alias tidak menuruti wasiat dan perintah Rasulullah SAW. Wa Allahu A’lam. (Bidayatul Hidayah Libni Katsir)
 
c. Imamah
Imamah merupakan kelanjutan dari wishayah, karena untuk melanjutkan tugas kenabian setelah Nabi wafat, maka dibutuhkan seorang Imam. Sesuai dengan prinsip keadilan Tuhan, maka Allah wajib menetapkan para imam yang akan bertugas sebagai pembimbing manusia, seperti halnya seorang Nabi. Imamah menurut kaum Syi’ah adalah salah satu dari rukun-rukun agama. Dan imam itu harus Ishmah, yaitu terpelihara dari segala dosa dan salah, meskipun ia mampu melakukan itu, imam juga mengetahui segala yang di langit dan di bumi, serta semua yang ada di surga dan di neraka. Imam-pun mengetahui apa-apa yang telah, sedang dan akan terjadi (al-Kafi 1/261). Hal ini terkait dengan fungsinya sebagai pengendali (quthb) manusia. Jelasnya, Imam di mata orang-orang Syi’ah kedudukannya adalah di atas malaikat muqorrobin dan para rasul (bahkan hamper setara dengan Tuhan. red). (al-Hukumah al-Islamiyah 52). Bahkan dalam Kasyful Asror 155, Khumaini menyalahkan Nabi Muhammad SAW dengan perkataannya, “ Dan Jelas, sekiranya Nabi benar-benar mau menyampaikan perintah mengenai imamah, sesuai apa yang Allah perintahkan dan mengupayahkan hal itu, tentu tidak akan timbul perselisihan, pertengkaran dan peperangan di Negara-negara Islam, dan tidak akan timbul perselisihan-perselisihan dalam pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya”.
Orang-orang Syi’ah juga mempercayai bahwa imam mereka yang masih bersembunyi atau yang telah mati akan dihidupkan kembali oleh Allah di akhir zaman (Roj’ah). Imam itulah yang disebut sebagai al-Qo’im. Ajaran ini terkait dengan paham bahwa imam ketujuh (menurut syi’ah Sab’iyyah) atau kedua belas (menurut syi’ah Itsna Asyariyah) sedang bersembunyi dan akan kembali (raj’ah) di akhir zaman nanti untuk memimpin, mengatur dan memperbaiki dunia serta di nilai paling sukses daripada nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi lain. Selain itu, al-Qo’im kembali juga untuk membangkitkan Abu Bakar, Umar dan Utsman untuk di adili karena telah merampas jabatan Khalifah dari pemiliknya, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Tholib. Seorang ulama Syiah yang sudah sangat terkenal, yaitu Al-Mufid, telah menulis di dalam kitabnya, Al-Irsyad, “Apabila Al-Qaim  bangkit maka para pembunuh Sayidina Al-Husain pun akan dibangkitkan. Mereka akan dihidupkan seperti semula lalu dibunuh dengan dihukum pancung di khalayak ramai, bahkan bapak-bapak pembunuh itu pun akan turut dibangkitkan dan dihukum”.
Karena keterlaluannya mereka mengenahi imamah, kedustaan mereka terhadap Sayyidina Ali juga anak-anaknya, kepengecutan dan kelicikan mereka-lah sehingga mereka menuai banyak kecaman, cacian dan kebencian dari orang-orang yang mereka anggap sebagai imam-imam mereka yang ma’shum. Diantaranya adalah,
  • Kata Sayyidina Ali terhadap orang-orang Syi’ah, “Janjimu tidak dapat dipegang, persahabatanmu tidak dapat di andalkan, Sungguh kalian inilah sejelek-jelek rumput kering untuk menyulut api”. (Nahjul Balaghoh 183)
  • Kata Sayyidina Hasan, “Aku kenal orang-orang kuffah (Syi’ah), telah aku kutuk mereka. Dan tidak baik bagiku bersama para perusak diantara mereka, Sebab mereka tidak bisa dipegang janjinya, tidak ada jaminan (kebenaran) bagi perkataan dan perbuatan mereka. Mereka adalah orang-orang yang selalu berselang sengketa. Katanya, “Hati mereka selalu bersama kami”. Tetapi pedang-pedang mereka selalu dihadapkan kepada kami..... (Kitabul Ihtijaj Karya at-Thobarsy)
  • Kata Sayyidina Husain, saat orang-orang Syi’ah berkumpul dan mengangkat Muslim bin ‘Aqil sebagai penggantinya. “Binasalah kamu wahai golongan, sengsara dan celakalah kamu, kamu berteriak meminta pertolongan kami, dengan menangis dan merengek-rengek, lalu cepat-cepat ku tolong kamu, setelah itu kamu hadapkan mata pedang kamu kepada kami dan kamu nyalakan api untuk membakar kami....... (Kitabul Ihtijaj Karya at-Thobarsy)
  • Diriwayatkan oleh al-Kulainy dari Abul Hasan Musa, “Jika aku selidiki Syi’ahku, maka aku dapati mereka hanyalah berpura-pura, dan bila aku uji mereka, aku dapati mereka semua adalah orang-orang yang murtad. (Kitabur Roudloh lil Kulainy 107)
  • Kata Musa al-Kadzim, “Tidak seorangpun dari mereka (gol. Syi’ah) yang mau menerima nasihatku dan yang mentaati perintahku selain Abdullah bin Ya’fur”. (Majalisul Mu’minin, Majlis Kelima 144).
Demikianlah sedikit gambaran dari hubungan mereka dengan orang-orang yang mereka anggap sebagai imam-imam yang ma’shum. Mereka memang selalu mengaku sebagai pecinta ahlul bait, tetapi pengakuan itu hanyalah kedustaan (taqiyyah) semata. Bahkan mereka sering berkhianat dan berdusta atas nama ahlul bait dan imam-imam mereka. Inilah sebabnya Sayyidina Ali dan anak-anak keturunannya membenci dan mengutuk mereka. Jelasnya, orang-orang yang mereka anggap sebagai imam-imam mereka adalah orang-orang yang membenci mereka dan jauh dari ajaran dan aqidah mereka.

d. Taqiyah
Taqiyah yaitu menyembunyikan keyakinan sebenarnya dengan mengatakan keyakinan yang sesuai dengan keyakinan resmi yang ada pada saat itu, demi menyelamatkan diri. Jelasnya Taqiyah adalah berdusta demi keselamatan. Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih al-Qummy, ahli hadits Syi’ah pernah ditanya tentang firman Allah “Inna Akromakum ‘Indaallohi Atqokum”, Ia menjawab “Orang yang paling mulya disisi Allah adalah orang yang paling banyak melakukan taqiyyah”, yaitu banyak berbohong demi membela Aqidah Syi’iyyah. Na’uzhu billaahi min zhalik.
Aqidah dan kepercayaan tentang kebenaran dan anjuran berdusta (taqiyyah) ini, menurut akal sehat jelas sangat lucu dan aneh. Di dalam al-Qur’an juga sudah jelas-jelas dilarang, di antaranya adalah dalam surat at-Taubah ayat 119 “Takutlah kamu akan Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar”. Dalam surat al-Ahzab ayat 70 “Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu akan Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar”.

e.  Baro’ah
Baro’ah artinya terbebas atau lepas sama sekali dengan Khulafa’ur Rosyidin demi kesempurnaan iman. Ya’ni pernyataan anti Abu Bakar, Umar dan Utsman, harus ditanamkan betul dalam hati setiap muslim sebagai salah satu syarat untuk menyempurnakan iman. Kaum Syi’ah menganggap bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan orang-orang yang membai’at mereka sebagai kholifah, serta Istri-istri Nabi SAW terutama A’isyah dan Hafshoh adalah orang-orang kafir. Bahkan kaum Syi’ah menyebut Abu Bakar dan Umar adalah Thoghut dan Shonamu Quraisyin (berhala), sementara menyebut A’isyah dan Hafshoh adalah Jibt (berhala) yang semuanya harus dikutuk dan di la’nat. Ironinya lagi, mereka mengangggap pembunuh Sayyidina Umar bin Khotthob, yaitu Abu Lu’lu’ah adalah pahlawan syahid yang di jamin masuk surga.
Keyakinan seperti ini jelas telah melenceng dari ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda,

لاَتَسُبُّوْا أَصْحَابيِ, فَوَالَّذِىْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ (رواه البخاري ومسلم)

Janganlah kalian mencaci maki sahabat-sahabatku. Demi zhat yang menguasai jiwaku, andaikan salah satu dari kalian bersedekah emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan bisa membandingi sedekah mereka satu mud atau setengahnya mud”. (HR. Bukhori Muslim).
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا رَأَيْتٌمُ الَّذِيْنَ يَسُبُّوْنَ أَصْحَابِى فَقُوْلُوْا لَعْنَةُ اللهِ عَلىَ شَرِّكُمْ (رواه الترمذى)

Bila kamu melihat orang –orang mencaci sahabat-sahabatku, maka katakanlah, “Semoga la’nat Allah atas kejahatanmu”. (HR. Turmuzhi)

f.  Nikah Mut’ah
Mereka menghalalkan nikah Mut’ah atau Kawin Kontrak, yaitu  pernikahan yang di batasi dengan  jarak waktu tertentu dan dengan upah tertentu pula. Padahal menurut imam ke-enam mereka, yaitu Ja’far Shodiq bin Muhammad Baqir ketika di tanya tentang nikah mut’ah, beliau menjawab “Nikah Mut’ah itu Zina”. Bahkan Rasulullah SAW sendiri bersabda tentang nikah mut’ah yang artinya, Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban). Sayyidina Ali Juga pernah berkata. “Bahwa Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” (Hadis ini dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim).

E.        Daftar Perbedaan Antara Faham Syi’ah Dan Faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

HAL
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
SYI’AH
Rukun Islam
Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat, dan Haji
Sholat, Puasa, Zakat, Haji dan Wilayah
Rukun Iman
Iman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, kepada Kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir, dan iman kepada Qodlo’ dan Qadar, baik-buruknya dari Allah
At-Tauhid, An Nubuwwah, Al-Imamah, Al-Adlu dan Al Ma’ad
Syahadat
Dua kalimat syahadat
Tiga kalimat syahadat
Asyhadu an Laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, ditambah lagi dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.
Kedudukan Ali
Sebagai Khalifah ke IV dan termasuk salah satu dari Khulafaur Rasyidin.
Sebagai Imam yang ma’shum (terjaga dari salah dan dosa) dan memiliki sifat-sifat Ketuhanan
Kedudukan Abu Bakar, Umar dan Usman
Sebagai Khalifah ke I, II dan III dan termasuk Khulafaur Rasyidin
Kekhalifahannya tidak sah, karena merampas hak dari pemiliknya yang sah yaitu Ali. Oleh karena itu keduanya harus dikutuk dan di la’nat
Kedudukan Khilafah
Siapapun dapat menduduki jabatan ini asal memenuhi syarat dan dengan cara yang sah.
Khalifah atau lebih tepat Imam atau penjaga dan pelaksana syari’at harus dari keturunan Ali, Mempunyai sifat-sifat Ketuhanan dan kedudukannya lebih tinggi dari manusia biasa, karena Ia sebagai perantara antara Tuhan dan manusia, sehingga apapun yang dikatakan atau diperbuat dianggap benar, dan yang dilarang dianggap salah
Ijma’
Sebagai sumber hukum ketiga.
Ijma hanya dapat diterima apabila direstui oleh Imam, karena Imam adalah penjaga dan pelaksana Syari’at.
Hadits
Sebagai sumber hukum kedua dan dapat diterima bila diriwayatkan oleh orang yang terjamin integritasnya
Hanya hadits yang diriwayatkan oleh Ulama Syi’ah saja yang diterima.
Ijtihad
Mengakui adanya Ijtihad sebagai sarana pengembangan hukum
Ijtihad tidak diperkenankan karena segala sesuatu harus bersumber dan tergantung Imam.
Nikah Mut’ah
Perzinaan yang dilegalkan atas nama agama. Selain dipandang merendahkan derajat wanita juga menelantarkan anak/keturunan.
Dihalalkan dan dilaksanakan serta merupakan identitas dari golongan Syi’ah Imamiah.

Tabel daftar perbedaan antara Faham Syi’ah Dan Faham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang tertulis di sini adalah perbedaan yang menonjol dan hanyalah sebagian kecilnya saja. Apabila tokoh-tokoh Syiah sering mengaburkan perbedaan-perbedaan tersebut, serta memberikan keterangan yang tidak sebenarnya, maka hal tersebut dapat kita maklumi, sebab menurut mereka, menyembunyikan kebenaran yang sesuai dengan keyakinan mereka baik untuk menyelamatkan diri atau untuk jalan keberhasilan dalam perjuangan adalah diperbolehkan. Oleh karena itu, sebagian besar orang-orang yang masuk Syiah adalah orang-orang yang tersesat, yang tertipu oleh bujuk rayu tokoh-tokoh Syiah. Ironinya kalau hanya karena agar boleh nikah mut’ah atau karena agar mendapatkan diskon dalam menjalankan sholat wajib yang seharusnya lima waktu, bisa menjadi tiga waktu, lalu berbondong-bondong masuk Syi’ah tanpa memikirkan keselamatan abadi, yaitu keselamatan kelak di akhirat.

F.         Pendapat Para Ulama Mengenahi Syi’ah Imamiyah
Setelah menyimak, menela’ah dan memahami sekilas tentang Syi’ah, tentunya pembaca bisa menilai dan menentukan Islam yang bagaimana yang pantas disebut Islam dan harus di ikuti. Apa Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang rohmatal lil ‘aalamin, atau Syi’ah yang dlollun mudlillun, penuh dengan tipu muslihat, caci maki dan kebencian?
Berikut ini penilaian beberapa ulama tentang Syi’ah Rofidloh atau Imamiyah yang di sarikan dari kitab Aqo’id Syi’ah fil Mizan karangan DR. Muhammad Kamil al-Hasyimi dan kitab-kitab lainnya,
  • Imam Syafi’i mengatakan, “Saya belum pernah melihat satupun kaum yang paling berani bersaksi dusta selain Rofidloh”.
  • Imam Maliki ketika ditanya tentang Syi’ah, beliau berkata, “Jangan mengajak bicara mereka, dan janganlah meriwayatkan sesuatupun yang sumbernya dari mereka, karena mereka itu pendusta”.
  • Imam Hanafi berkali-kali mengatakan, “Siapa saja yang ragu-ragu akan kekufuran mereka (kaum Syi’ah), maka sungguh dia sendirilah yang kafir”.
  • Syarik, seorang Qodli Kuffah yang semasa dengan Imam Ats-Tsauri dan Imam Hanafi pernah berkata, “Aku selalu mengambil ilmu dari setiap orang yang aku temui kecuali dari Rofidloh, karena mereka itu telah memalsukan hadits dan menjadikannya agama”. (Minhajus Sunnah Juz 1)
  • Pernyataan Imam Hambali tentang Syi’ah. Al-Khollal berkata, “Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata, “Aku bertanya kepada Ayahku tentang hokumnya orang yang menghujat salah satu dari sahabat Nabi SAW. Ayahku menjawab “Orang tersebut telah keluar dari Islam
  • Al-A’masy berkata “Aku menemukan manusia yang tidak pantas dijuluki kecuali hanya dengan julukan “pendusta”, oleh karena itu, para imam Rohimahumullah seperti Imam Syafi’i dan Imam Hanafi sepakat menolak dan tidak menerima kesaksian Syi’ah, karena mereka termasuk orang-orang pendusta”.
  • Pernyataan Imam Qurtubi tentang Syi’ah, “Sungguh benar ucapan dan pena’wilan Imam Malik (pada Surat al-Fath ayat 29), “Barang siapa berani menghujat salah satu sahabat Nabi SAW, maka orang tersebut telah berani menentang Allah SWT dan mengingkari Syari’at Islam” (Tafsir al-Qurtubi 16/297).
  • Abdullah bin Mubarrok berkata, “Agama itu bagi ahli hadits, kalam itu bagi ahlir Ra’yi, sedangkan dusta itu bagi Rofidloh” (Minhajul I’tidal 480. ad-Zhahabi).
  • Abu Zur’ah mengatakan, “Jikalau engkau melihat seseorang mencela salah seorang dari sahabat-sahabat Nabi, maka ketahuilah bahwasanya dia adalah orang Zindiq. Demikian itu karena bahwasanya Rasul itu benar, apa yang di bawah oleh beliau juga benar, sedangkan yang menyampaikan apa yang dibawah oleh Rasul kepada kita, tidak ada lain hanyalah para sahabat, sementara orang-orang Zindiq itu mencela syuhudana (para sahabat), karena memang mereka bermaksud membatalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Makanya celaan itu lebih pantas untuk mereka”. (Risalatu Robbil Alamin 12).
  • Imam at-Thohawi dalam kitabnya Syarah Thohawiyah 528 mengatakan, “Kami mencintai semua sahabat Rasulullah SAW, dan kami tidak gegabah dalam mencintai mereka, dan kamipun tidak menyatakan berlepas diri dari salah satupun dari mereka. Bahkan kami membenci orang-orang yang membenci mereka dan yang mengatakan mereka tidak baik. Kami tidak pernah menyebut mereka kecuali dengan sebutan yang baik. Karena mencintai mereka itu termasuk agama, iman dan ihsan, sedangkan membenci mereka itu kufur, nifak dan dzolim”.
  • Qodli Abu Ya’la mengatakan, “Menurut Fuqoha’, orang yang mencaci maki para sahabat Nabi SAW dan menganggapnya itu halal adalah kufur, kalau tidak menganggapnya halal maka ia fasiq tidak kufur”. (as-Shorimul Maslul libni Taimiyah 579).
  • Dan masih banyak lagi para ulama baik ulama salaf maupun kholaf yang menyatakan kufurnya golongan Syi’ah Rofidloh.
G.       Fatwa Mui Tahun 1984 Tentang Aliran Sesat Syiah
Bismillahirrahmaanirrahiim
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 M merekomendasikan tentang faham Syi’ ah sebagai berikut:
Faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamm’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia.

Perbedaan itu di antaranya :
  1. Syi’ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait, sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu musthalah hadis.
  2. Syi’ah memandang “Imam” itu ma‘shum (orang suci), sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
  3. Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.
  4. Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlussunnah walJama’ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi da’wah dan kepentingan umat.
  5. Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlussunnah walJama’ah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).
Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham ahlussunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah

Ditetapkan : Jakarta, 7 Maret 1984 M / 4 Jumadil Akhir 1404 H
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua                                                               Sekretaris

               ttd                                                                      ttd
Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML                           H. Musytari Yusuf, LA


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an
Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir at-Thobari
Tafsir al-Alusi
Tarikh at-Thobari
Shohih Bukhori
Shohih Muslim
Syarahun Nawawi ‘Alaa Muslim
Aqo’id Syi’ah fil Mizan karangan DR. Muhammad Kamil al-Hasyimi
Tanya Jawab tentang Aliran Syi’ah dan Pemikiran-Pemikiran Wahabi. Tim Penerjemah Ribath Darusshohihain Pondok Pesantren al-Anwar Sarang.
Dialog Apa dan Siapa Syi’ah. Ahmad Zein al-Kaf
As-Syi’ah was Sunnah. Prof. Dr. Ihsan Ilahi Dzohiri, MA