Mata Rantai Aqidah ASWAJA

Di era tabi’in, muncul beberapa imam yang mngemban misi
Ahlussunnah wal Jamaah, diantaranya, Umar bin Abdul Aziz dengan Risalahnya
“Risalah Balighoh fir Rodd ‘alal Qodariyyah, Zaid bin Ali Zainal Abidin, Hasan
al-Bashri, as-Sya’bi dan az-Zuhri. Setelah generasi ini, muncul
imam Ja’far bin Muhammad Shodiq. Dari ulama-ulama fiqh dan imam madzhab juga
ada yang ikut-ikut meng-counter paham-paham yang melenceng ini, diantaranya,
imam Abu Hanifah dengan karyanya al-Fiqhul Akbar, Imam Syafi’I dengan
karyanya Fi Tashhihin Nubuwwah war Rodd ‘alal Barohimah dan ar-Rodd
‘alal Ahwa.
Setelah periode imam Syafi’i, muncul muridnya yang
berhasil menyusun paham aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya Abul Abbas
ibnu Suraij. Generasi sesudah itu baru muncul imam Abul Hasan
al-Asy’ari yang popular sebagai salah seorang penyelamat aqidah keimanan,
lantaran keberhasilannya membendung paham Mu’tazilah.
Dari mata
rantai data di atas, yang sekaligus sebagai dalil histories, dapat dikatakan
bahwa aqidah Ahlussunnah wal Jamaah secara substansif telah ada sejak zaman
sahabat. Artinya paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak sepenuhnya bawaan Abul
Hasan al-Asy’ari. Sedangkan apa yang dilakukan oleh imam Abul Hasan al-Asy’ari
adalah menyusun doktrin paham Ahlussunnah wal Jama’ah secara sistematis,
sehingga menjadi pedoman atau madzhab umat Islam. Sesuai dengan kehadirannya
sebagai reaksi terhadap munculnya paham-paham yang ada pada zaman itu.
Corak khusus
madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah lebih mengedepankan al-Qur’an
dan al-Hadits daripada Akal. Artinya akal harus sesuai dengan al-Qur’an
dan al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan akal. Dalam
bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’
Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan dua istilah dalil, yaitu dalil Naqli
dan dalil Aqli. Dalil Naqli merupakan dalil yang di ambil
langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, sementara dalil Aqli adalah dalil yang
berdasarkan pemikiran akal yang sehat. Sebagaimana pendapat imamul a’dzom Abul
Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits pada
posisi primer, sementara Akal diletakkan pada posisi sekunder. Hal ini sangat
berseberangan dengan madzhab Mu’tazilah yang cenderung memposisikan akal di
atas segala-galanya.
Imam Abu
Hasan al-Asy’ari (260-324 H) asalnya adalah pengikut setia golongan
mu’tazilah. Tetapi semakin menekuni ajaran Mu’tazilah, beliau semakin melihat
banyaknya celah dan kelemahan yang ada dalam ajaran-ajarannya, akhirnya ketika berusia
40 tahun beliau memutuskan dan menyatakan keluar dari Mu’tazilah. Tetapi jalan
yang di hadapinya setelah itu tidaklah licin dan tanpa hambatan. Sebagai bekas
Mu’tazilah dan masih dalam skup yang sama, yaitu menggunakan metode filsafat
dalam argumentasi-argumentasinya. Bagi sebagian orang beliau masih tetap
mencurigakan dengan pemikiran-pemikirannya, bahkan tidak sedikit orang yang
menuduhnya menyeleweng dan kafir. Dalam karya-karya tulisnya yang terkenal
seperti, al-Ibanatu ‘an Ushulid Diyanah, Risalah fi Istihsanil Khoudl fi
Ilmil Kalam, al-Luma’ dan Maqolatul Islamiyyin Wakhtilaful Mushollin,
menggambarkan betapa imam Asy’ari membela diri dari serangan berbagai kalangan
dan bagaimana dalam perjuangannya mengkonsolidasikan pendapat-pendapatnya, dan
seruan-seruannya tentang betapa pentingnya mempelajari Ilmu Kalam.
Perumus paham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah
selain imam Asy’ari adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud
al-Maturidi atau lebih dikenal dengan sebutan imam Maturidi. Beliau
lahir di daerah Maturid dan wafat di Samarkand
pada tahun 333 H. Beliau adalah pengikut madzhab Hanafi. Maturidiyah dan
Asy’ariyah dilahirkan dalam kondisi social dan pemikiran yang serupa. Kedua aliran
ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan agar mengambil
sikap tengah di antara ekstrimitas kaum rasionalis dan ekstimitan kaum
tekstualis (tawasuth Bainat Tafrith wal Ifroth). Keduanya secara
bersama-sama membendung dua kecenderungan ekstrimitas dalam pemikiran Islam
yang melanda kala itu. Kalaupun keduanya kadang ada perbedaan pendapat, itu
hanyalah dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan detailitas semata.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tathhirul Janan wal
Lisan berkata, Jika dikatakan siapakah yang dimaksud Ahlissunnah, maka
yang dimaksud adalah para pengikut Abil Hasan al-Asy’ari dan Abi Manshur
al-Maturidi. Keduanya adalah pelopor gerakan Ahlussunnah wal Jama’ah
dalam ilmu Tauhid. Bahkan Ibnu Taimiyah mengakui akan jasa golongan Asy’ariyah
dalam rangka menyelamatkan sendi-sendi ajaran Islam, sebagaimana disebutkan
dalam kitab al-Fatawi-nya dari pernyataan Abu Muhammad al-Juwaini, “Para
Ulama’ adalah penolong ilmu-ilmu agama, sedangkan Asya’iroh adalah para
penolong ushuluddin”.
Sumber.
Risalah NU, Fiqh Tradisional (KH. Muhyiddin Abdusshomad). Pegangan Praktis Faham
Ahlussunnah wal Jama’ah (PP LDNU), Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia.
Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlotul Ulama, dll.