Peristiwa Isro' Mi'roj dan Hikmahnya
Diantara mukjizat besar Nabi Muhammad SAW adalah
peristiwa Isro’ dan Mi’roj, sebuah peristiwa yang luar biasa yang terjadi
sepanjang peradaban manusia, peristiwa nyata yang telah terjadi dan wajib
dipercayai. Mula-mula Malaikat
Jibril datang dengan membawa kendaraan Buraq atas
perintah Allah SWT. Kendaraan Buraq yang mempunyai kecepatan luar biasa,
sejauh mata Buraq memandang sejauh itu pulalah Buraq melangkah.
Dengan tanpa meninggalkan jejak, Malaikat Jibril membuka atap rumah tempat
Rosulullah SAW dan mengajak keluar untuk menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, baik yang berada di bumi maupun yang berada di langit.
Perjalanan Isro’ dimulai dari masjid Al Haram
setelah terlebih dahulu dada beliau dibelah dan disucikan hatinya untuk
dipenuhi dengan hikmah dan keimanan agar beliau sipa untuk menyaksikan
keajaiban-kejaiban ciptaan Allah dengan hati yang kuat. Pada saat itu beliau
berada di Makkah, Malaikat Jibril membangunkan Nabi kemudian pergi bersamanya
menuju masjid Al Haram berangkat dengan Buroq, Buroq seekor
binatang surga yang mampu melompat sejauh pandangannya. Ditengah perjalanan
Isro’ ini Rosulullah melewati beberapa tempat dan kota bersejarah, antara lain
kota Yatsrib (Madinah), kota Madyan (kota Nabi Syu’aib), bukit Thur Sina
(tempat Nabi Musa mendapat wahyu dari Allah SWT), dan Bayt Lahm (tempat Nabi
Isa dilahirkan). Di tiap-tiap tempat ini Malaikat Jibril selalu meminta
Rosulullah untuk turun dan melakukan sholat dua rakaat (HR. Al Bayhaqi). Hal
ini merupakan salah satu dari sekian banyak dalil tentang dibolehkannya
”tabarruk” (meminta berkah dari Allah SWT) dengan lantaran atsar (peninggalan)
para Nabi. Setelah Rosulullah sampai di Baytul Maqdis (Masjid Al-Aqsho),
Rosulullah bersama para Nabi mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Isa melakukan
sholat berjamaah dan beliau bertindak sebagi imam. Hal ini merupakan petunjuk
bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi termulia diantara para Nabi.
Diantara keajaiban ciptaan Allah yang
disaksikan Rosulullah ketika Isro’ adalah:
- Dunia, Rosulullah melihatnya dalam bentuk wanita tua yang renta. Hal ini menggambarkan bahwa dunia dengan segala bentuk dan isinya yang menggairahkan akan lenyap dan fana, sebagimana seorang wanita yang ketika mudanya sangat cantik can menawan, akan hilang kecantikannya ketika sudah tua.
- Iblis, Rosulullah melihat seseorang yang berada dipinggir jalan, dialah Iblis yang pada mulanya beriman kepada Allah kemudian dia kafir karena menentangNya. Dia termasuk golongan Jin, bukan malaikat. Iblis tidak berani berbicara kepada Rosulullah atau berbuat jelek terhadapnya dikarenakan kemuliaan dan keagungan beliau.
- Para Mujahid di jalan Allah, Rasulullah melihat sekelompok kaum yang menanam dan menuai hasilnya dalam tempo 2 hari. Jibril berkata kepada Rasulullah : "Merekalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah".
- Para penceramah pembawa fitnah, Rasulullah melihat mereka memotong lidah dan bibir mereka dengan gunting dari api.
Peristiwa Isro’ telah menjadi Ijma’
(konsensus) para ulama salaf, khalaf, ahli hadist, ahli kalam, ahli tafsir dan
ahli fiqh bahwa Rosulullah di-Isro’-kan dari Masjidil Harom mekkah sampai Masjidil Aqsho
Palestina dengan jasad dan
ruhnya serta dalam keadaan sadar (bukan mimpi), inilah pendapat yang benar
menurut Ahlussunnah Wal Jamaah. Allah SWT berfirman:
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Artinya ” Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Isro [17]:1).
Setelah Isro’, Rosulullah SAW ditemani
Malaikat Jibril melanjutkan perjalanannya Mi’roj menuju Sidrat Al-Muntaha.
Hanya dalam waktu sepertiga malam saja Rosulullah sudah kembali ke tempat
tidurnya dari perjalanan Isro’ dan Mi’rojnya. Sungguh menakjubkan, namun itulah
bukti kekuasaan Allah SWT yang sempurna dan tiada bandingannya dan bukti inilah
yang disebut dengan Mukjizat, bukti kebenaran dan kerosulan Muhammad
SAW.
Peristiwa Mi’roj adalah perjalanan yang
dimulai dari masjid Al Aqsho hingga ke atas langit ke tujuh. Nabi Muhammad SAW
bersabda:
عن أنس رضي الله عنه قال, لما
عرج بالنبي صلى الله عليه وسلم إلى السماء قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, أتيت
على نهر حافتاه قباب اللؤلؤ مجوفا, فقلت ما هذا يا جبريل ...؟ قال هذا الكوثر
Artinya ” Dari Anas ra berkata : "Ketika nabi saw
diangkat untuk Mikraj ke Langit, bersabda Rasulullah saw : aku telah
mengunjungi sebuah sungai, yg dikelililingi kubah kubah Mutiara yg berongga
rongga”, aku tanya ke Jibril ”apa itu Jibril?”, (berkata Jibril) ”itu telaga al
kautsar” " (Shahih Al Bukhari ).
Disebutkan juga di Al Quran:
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً
أُخْرَى, عِندَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى
Artinya
”Dan demi sungguh Muhammad telah melihat Jibril (dengan bentuk aslinya) pada waktu penurunan
yang lain. (yaitu) di sisi Sidratil
Muntaha” (QS. An Najm 13-14).
Di jelaskan dalam hadits riwayat Muslim, bahwa ketika Rosulullah dan Jibril sampai ke langit
pertama, Jibril memerintahkan pintu langit di buka untuk Sayyidina Muhammad SAW,
maka berkata para malaikat penjaga pintu langit “Siapa yang bersamamu wahai
Jibril?” Jibril berkata : “Muhammad RasulullahSAW”. Malaikat
penjaga pintu bertanya “apakah ia sudah waktunya di utus?”. Berkata
Jibril : “Betul”. Maka Malaikatpun membuka pintu langit pertama dan
berkata “Selamat datang untuknya, semulia-mulia pendatang kelangit pertama telah datang” . Diriwayatkan didalam Shahih Bukhari : “Selamat
datang untuknya, semulia-mulia pendatang
telah datang kelangit pertama”
Di langit pertama, Rosulullah SAW bertemu Nabi
Adam AS yang mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad SAW dengan ucapan “selamat
datang wahai Nabi Yang Sholih wahai keturunanku yang Sholih”. Percakapan
ini terjadi setiap kali Rosulullah dan Jibril memasuki tiap-tiap langit. Di
langit kedua bertemu dengan Nabi Isa AS, di langit ketiga bertemu dengan Nabi
Yusuf AS, di langit keempat bertemu dengan Nabi Idris AS, di langit kelima
bertemu dengan Nabi Harun AS, di langit keenam bertemu dengan Nabi Musa AS, dan
di langit ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim AS.
Dalam hadits shahih yang sangat panjang
riwayat Imam Muslim ini, Rosulullah
menjelaskan mengenai peristiwa Isro' dan Mi'roj. Dalam hadits
tersebut diriwayatkan bahwa ketika Nabi berada di atas Sidratul Muntaha beliau
mendengar kalam Allah di antaranya berisi kewajiban sholat 50 kali dalam sehari
semalam bagi umatnya. Kemudian terjadilah dialog dengan Nabi Musa AS yang
menganjurkan agar Nabi Muhammad meminta keringanan kepada Allah dan akhirnya
diwajibkan bagi ummat Islam hanya lima kali sholat dalam sehari semalam. Namun
nilai sekali sholat tersebut sebanding dengan sepuluh kali sholat sehingga lima
kali sholat sebanding dengan lima puluh kali sholat.
Keajaiban ciptaan Allah SWT yang diperlihatkan
kepada Nabi Muhammad SAW ketika peristiwa Mi’roj:
- Baitul Ma’mur: yaitu rumah yang dimuliakan yang berada di langit ke tujuh. Sebanyak 70.000 malaikat masuk ke Baitul Ma’mur setiap harinya dan keluar dari Baitul Ma’mur 70.000 dan tidak pernah kembali lagi, dan seterusnya.
- Surga, yaitu tempat kenikmatan yang disediakan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan sekarang sudah ada.
وَسَارِعُواْ إِلَى
مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Yang artinya ” Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imron [3] : 133).
- 'Arsy, yaitu makhluk Allah yang paling besar bentuknya (H.R. Ibn Hibban) dan makhluk kedua yang diciptakan Allah setelah air (Q.S. Huud : 7).
وَهُوَ الَّذِي خَلَق السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاء ........
Artinya ” Dan Dia-lah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ’Arsy (sebelum
itu) di atas air,...” (QS.
Huud [11] : 7)
Imam al Bayhaqi mengatakan : "Para ahli
tafsir menyatakan bahwa 'arsy adalah benda berbentuk sarir (ranjang) yang diciptakan
oleh Allah. Allah memerintahkan para malaikat untuk menjunjungnya dan
menjadikannya sebagai tempat ibadah mereka dengan mengelilinginya dan
mengagungkannya sebagaimana Ia menciptakan ka'bah di bumi ini dan memerintahkan
manusia untuk mengelilinginya ketika thawaf dan menghadap ke arahnya di saat
shalat". 'Arsy bukanlah tempat bagi Allah, karena Allah tidak membutuhkan
tempat. Sayyidina 'Ali ra
berkata yang artinya ”Sesungguhnya Allah menciptakan 'arsy untuk
menunjukkan kekuasaan-Nya, dan tidak menjadikannya tempat bagi Dzat-Ny”.
(Riwayat Abu Manshur al Baghdadi dalam al farq bayna al firaq, hlm : 333)”.
Sekembalinya Rosulullah dari Isro’ dan Mi’roj,
Rosulullah mengabarkan kejadian tersebut kepada kaum kafir Quraisy, namun
mereka tidak percaya. Lalu orang kafir Qurasy datang kepada Abu Bakar untuk menyatakan hal itu, dan beliau
membenarkan cerita Rasulullah seraya mengatakan: "Aku mempercayainya
ketika ia mengabarkan berita langit, mengapa aku tidak mempercayainya mengenai
berita bumi ?". Sahabat Abu Bakar selalu membenarkan apa yang disampaikan
Nabi Muhammad SAW, sehingga beliau mendapat julukan Abu Bakr ash-Shiddiq.
Orang-orang kafir dengan dipimpin oleh Abu Jahal mendatangi Rasulullah untuk minta penjelasan tentang sifat dan bentuk al Masjid al Aqsha, karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah tidak pernah pergi ke sana sebelumnya. Setelah Rasulullah menjelaskan secara mendetail, di antara mereka yang pernah pergi ke sana berkata : "Demi Tuhan, apa yang diterangkan Muhammad adalah benar".
Orang-orang kafir dengan dipimpin oleh Abu Jahal mendatangi Rasulullah untuk minta penjelasan tentang sifat dan bentuk al Masjid al Aqsha, karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah tidak pernah pergi ke sana sebelumnya. Setelah Rasulullah menjelaskan secara mendetail, di antara mereka yang pernah pergi ke sana berkata : "Demi Tuhan, apa yang diterangkan Muhammad adalah benar".
Hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi’roj
Pertama: Konteks situasi terjadinya. Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi
sekitar setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika
itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang
sangat "sumpek", seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama
ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman
yang menjadi dinding kasat dari penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan
fisik maunpun psikologis kafir Qurays terhadap perjuangan semakin berat.
Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu
berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaei", demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.
Artinya, bahwa kita adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar bagi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).
Kedua: Pensucian Hati. Disebutkan bahwa sebelum di bawa oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaei", demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.
Artinya, bahwa kita adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar bagi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).
Kedua: Pensucian Hati. Disebutkan bahwa sebelum di bawa oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?
Rasulullah adalah
sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai,
tidak saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan
yang harus menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya.
"Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya sebagai "nurani", itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang.
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar. Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat intelektualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Keempat: Imam Shalat Berjama'ah. Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna. Shalat menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan". Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya.
Baghaimana dengan kita sebagai pengikut nabi muhammad dalam masalah ini? Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami".
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Namun lebih banyak yang bersifat negatif.
Kelima: Kembali ke Bumi dengan Shalat. Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan yang masih harus diembannya.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj).
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya sebagai "nurani", itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang.
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar. Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat intelektualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Keempat: Imam Shalat Berjama'ah. Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna. Shalat menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan". Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya.
Baghaimana dengan kita sebagai pengikut nabi muhammad dalam masalah ini? Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami".
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Namun lebih banyak yang bersifat negatif.
Kelima: Kembali ke Bumi dengan Shalat. Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan yang masih harus diembannya.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj).