Thoriqoh Oadiriyah, Pendiri dan Sejarahnya
a. Pendiri dan
Sejarah Thoriqoh Qadiriyah
Syekh Abdul
Qadir lahir pada tahun 470 H/1077 M. di Desa Naif, Kota Gilan, terletak 150 km
timur laut Bagdad. Beliau lahir dari seorang ibu yang salihah bernama Fatimah
binti Abdullah ash-Shama’i al-Husayni. Ketika melahirkan Abual Qadir
al-Jailani, sang ibu sudah berumur 60 tahun yang tidak lazim bagi seorang
wanita untuk melahirkan. Ayahnya bernama Abu Shalih. Jauh hari sebelum kelahirannya,
ayahnya bermimpi bertemu Nabi Muhammad saw. dan para sahabat. Sang ayah
meninggal pada sa'at usia Abdul Qadir masih sangat belia sehingga ia pun
dibesarkan oleh kakeknya.
Syekh Abdul
Qadir ,meninggal di Bagdad pada tahun 561 H/1166 M. Makamnya sejak dahulu
hingga sekarang diziarahi oleh manusia dari segala penjuru dunia Islam. Di
kalangan kaum sufi. Syekh Abdul Qadir diakui sebagai sosok yang menempati
hierarki kewalian tertinggi, Syekh Abdul Qadir adalah wali yang dikagumi dan
dicintai rakyat. Di mana-mana orang tua menceritakan kemuliaan Sang Syekh
kepada anak-anak mereka, bahkan hampir di setiap upacara keagamaan tradisional,
semua orang menghadiahkan pembacaan al-Fatihah kepadanya.
Nama lengkap
dan silsilah Syekh Abdul Qadir sampai kepada Nabi Muhammad saw. adalah Abu
Muhammad Abdul Qadir al-Jailani bin Abi Shalih bin Musa bin Janki Dusat (Janka
Dusat) bin Abi Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin
Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Musanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi
Talib dan Fathimah az-Zahra binti Rasulullah saw.
Silsilah dalam
tradisi Thoriqoh merupakan persoalan yang sangat penting. Artinya, dalam
tradisi Thoriqoh darah biru spiritual harus bersambung sampai kepada Nabi
Muhammad saw. Di samping itu, bersambungnya silsilah tersebut merupakan indikator
bahwa Thoriqoh tersebut dianggap mu’tabar. Oleh karena itu, di Indonesia, terutama
di kalangan Nahdlatul Ulama, ada kumpulan Thoriqoh yang mu’tabarah, yaitu Thoriqoh
yang memiliki silsilah yang bersambung sampai kepada Nabi Muhammad saw.
b. Pandangan-Pandangan
Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Menurut
pandangan Syekh Abdul QadirÙ
al-Jailani, manusia dibagi menjadi empat kategori.
- Kategori pertama adalah orang-orang yang tidak mempunyai hati dan lidah. Mereka adalah mayoritas masyarakat yang tidak peduli pada kebenaran dan keutamaan, yang hanya tunduk pada indra fisik.
- Kategori kedua adalah orang-orang yang mempunyai lidah, tetapi tidak mempunyai hati. Mereka ini adalah orang yang terpelajar dan memiliki retorika yang bagus, yang selalu menganjurkan umat untuk berbuat baik dan benar, tetapi mereka sendiri berbuat tidak sesuai dengan perkataan, bahkan kebalikannya. Inilah orang yang bicaranya sangat menarik, tetapi hatinya jelek.
- Kategori ketiga adalah orang-orang yang mempunyai hati, tetapi tidak mempunyai lidah. Mereka inilah mukmin sejati, yang selalu sadar akan kekurangan dan kelemahan sehingga mereka berusaha terus menyucikan diri dari hal-hal yang kotor. Bagi mereka, diam lebih baik daripada berbicara, tetapi membingungkan umat.
- Kategori keempat adalah orang-orang yang memiliki hati dan lidah. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pengetahuan sejati, yang dilengkapi bimbingan Allah Swt. dan menjadi penyambung kenabian. Mereka adalah kelompok yang tertinggi setelah kelompok para nabi.
Keutamaan Syekh
Abdul Qadir al-Jailani sebenarnya sudah tampak sejak bayi. Semasa bayi, beliau
tidak mau menyusu di siang hari kepada ibunya selama bulan Ramadan, bahkan
diceritakan bahwa seseorang bisa mengetahui awal bulan Ramadan ketika
menyaksikan Syekh Abdul Qadir tidak mau menyusu di siang hari. Adapun ide
mistik dan religius Syekh Abdul Qadir al-Jailani termuat dalam karya-karyanya
berikut.
- Al-Gunya li-Tholibi Tariq al-Haqq, yang dikenal umum dengan nama Gunya at-Talibin. Sebuah karya komprehensif tentang kewajiban yang diperintahkan agama Islam dan jalan hidup yang islami.
- Al-Fath ar-Rabbani adalah sebuah rekaman dari 62 khotbahnya 545-546 H/ 1150-1152 M.
- Futuh al-Gaib adalah sebuah rekaman dari 78 khotbahnya yang dikumpulkan putranya, Abdur Razzaq.
c. Ajaran dan
Praktiknya
Thoriqoh
Qadiriyah didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir Jailani
al-Bagdadi pada tahun 1180 H/1669 M. Thoriqoh ini berpusat di Irak dan Syria
serta berkembang sejak abad XIII, terkenal di dunia sejak abad XV M. Ajarannya tidak
berbeda dengan ajaran pokok Islam, terutama golongan Ahlus Sunnah wal lama’ah.
Syekh Abdul Qadir menghargai para pendiri mazhab fikih yang empat dan teologi
Asy’ariyah. Ajarannya menekankan pada tauhid dan akhlak yang terpuji.
Adapun bentuk
dan karakter Thoriqoh Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah tauhid, sedangkan
pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir dan batin. Salah satu
perkataan Syekh kepada para sahabatnya, “Kalian jangan berbuat bidah, taatlah
kalian, dan jangan menyimpang.”. Perkataan lainya, “Jika padamu berlaku sesuatu
yang telah menyimpang dari batas-batas syariat, ketahuilah bahwa kalian dilanda
fitnah dan setan telah mempermainkanmu. Oleh karena itu, kembalilah pada hukum
syariat dan berpeganglah, lalu tinggalkan hawa nafsu karena segala sesuatu yang
tidak dibenarkan syariat adalah batil.”. Penekanan ajaran Syekh Abdul Qadir
tertuju pada penyucian diri dari nafsu dunia.
Adapun
ajarannya adalah sebagai berikut.
a.
Tobat. Tobat adalah
kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus-menerus dari hati,
kemudian melaksanakan setiap hak Tuhan. Ibnu Abbas r.a. berkata, ”Tobat nasuha
adalah penyesalan dalam hati, permohonan ampun dengan lisan, meninggalkan
dengan anggota badan, dan berniat tidak akan mengulangi lagi.”
Jadi, tobat nasuha tidak hanya di
mulut yang menyatakan penyesalan dan pertobatan, sementara hati tidak mengikuti
apa yang dikatakan oleh mulut, tidak sungguh-sungguh bermaksud untuk
menghentikan perbuatan-perbuatan dosa, dan tidak melakukan tindakan nyata untuk
menghentikannya.
Menurut Syekh Abdul Qadir
al-Jailani, tobat itu ada dua macam sebagai berikut.
- Tobat yang berkaitan dengan hak sesama manusia. Tobat ini tidak terealisasi, kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan kepadapemiliknya.
- Tobat yang berkaitan dengan hak Allah. Tobat ini dilakukan dengan cara selalu mengucapkan istigfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekad untuk tidak mengulanginya di masa mendatang.
b.
Zuhud. Secara bahasa
zuhud adalah zahada fihi, wa zahada ‘ariku, dan wa zahadan, yaitu berpaling
darinya dan meninggalkan karena menganggapnya hina atau menjauhinya karena
dosa. Adapun secara istilah-pendapat yang paling baik adalah menurut Ibnu
Qadamah al-Maqdisi-zuhud adalah menghindari dari mencintai sesuatu yang menuju
sesuatu yang lebih baik darinya. Atau dengan istilah lain, menghindari dunia
karena tahu kehinaannya jika dibandingkan dengan kemahalan akhirat. Menurut
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, zuhud terbagi menjadi dua macam, yaitu, zuhud
hakiki (mengeluarkan dunia dari hatinya) dan zuhud suwari atau zuhud lahir
(mengeluarkan dunia dari hadapannya). Namun, hal ini tidak berarti bahwa
seorang zahid hakiki menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi dia
mengambilnya, lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah.
c. Tawakal. Tawakal atau
tawakkul dalam bahasa Arab berarti berserah diri. Sifat ini adalah salah satu
sifat mulia yang harus ada pada diri ahli sufi. Jika ia telah benar-benar
mengenal Tuhannya melalui makrifat yang telah dicapainya, tidak mungkin sifat
tawakal tersisih dari dirinya sebab mustahil jika seorang sufi yang selalu
berada di sisi Tuhan tidak memiliki jiwa tawakal. Syekh Abdul Qadir menekankan
bahwa tawakal berada di antara pintu-pintu iman. Iman tidak akan terurus baik,
kecuali dengan ilmu, hal, dan amal. Intinya, tawakal akan terasah dengan ilmu dan
ilmu menjadi pokok tawakal, sementara amal adalah buah tawakal. Adapun hal
adalah buah dan maksud tawakal itu sendiri. Dengan demikian, hakikat tawakal adalah
menyerahkan segala urusan kepada Allah dengan membersihkan diri dari gelapnya pilihan,
tunduk, dan patuh pada hukum dan.takdir. Jadi, hatinya merasa tenang dan nyaman
dengan janji Tuhannya. Syekh Abdul Qadir menekankan pentingnya tawakal dengan
mengutip maksud sebuah sabda Nabi saw., “Jika seorang menyerahkan dirinya
secara penuh kepada Allah, Allah akan mengaruniakan apa saja yang dimintanya. Begitu
juga sebaliknya, jika dengan bulat ia menyerahkan dirinya pada dunia, Allah
akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia”
d. Syukur. Syukur adalah
ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima dari Allah Swt., baik
secara lisan, perbuatan, maupun hati. Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani,
hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik karunia dan
pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan
patuh pada syariat-Nya. Hakikat syukur adalah mengakui nikmat yang diberikan
Allah, lalu mematuhi syariat-Nya. Jadi, syukur adalah pekerjaan hati dan
anggota badan.
Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani,
macam-macam syukur adalah sebagai berikut.
- Syukur dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal ini, penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ketundukan.
- Syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara mengabdi dan melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah. Dalam hal ini, penerima nikmat selalu berusaha menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
- Syukur dengan hati, yaitu beriktikaf atau berdiam diri di atas tikar Allah dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan. Dalam hal ini, penerima nikmat mengakui dari dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah Swt.
e. Sabar. Sabar berasal
dari kata (صبز يصبر صبرا).
Artinya, mencegah dan menghalangi. Secara istilah. Sabar adalah menahan diri
untuk tidak berkeluh kesah, mencegah lisan untuk merintih tidak mengeluh karena
sakitnya musibah yang menimpa kita, kecuali mengeluh kepada Allah karena Allah
Swt. menguji, sebagaimana yang terjadi pada diri Nabi Ayyub a.s. Allah Swt.
berfirman: Artinya: ...Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar....(Q.s.
Sad/38: 44). Nabi Ayub a.s.. berdoa dan mengeluh kepada Allah agar menghilangkan
musibah yang menimpanya. Dikisahkan dalam firman Allah Swt., Artinya: Dan
(ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku),
sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang
dari semua yang penyayang.” (Q.S. al-Anbiya721: 83).
Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani,
macam-macam sabar adalah sebagai berikut.
- Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
- Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan- Nya dari berbagai macam kesulitan dan musibah yang menimpadiri.
- Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.
f. Ridla. Ridla adalah
kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan (takdir) dengan berserah diri dan
pasrah tanpa menunjukkan pertentangan terhadap apa yang dilakukan oleh Allah.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an. Artinya: Tuhan menggembirakan mereka
dengan memberikan rahmat, keridaan dan surga, mereka memperoleh kesenangan yang
kekal di dalamnya. (Q.S. at-Taubah/9: 21). Rasulullah saw. juga bersabda yang
artinya, “Yang akan merasakan manisnya iman adalah orang yang rida Allah
menjadi Tuhannnya, Islam menjadi agamanya, dan Muhammad menjadi rasulnya.”
g. Jujur. Arti jujur
secara bahasa adalah menetapkan hukum sesuai dengan kenyataan. Menurut Syekh
Abdul Qadir al-Jailani, jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apa
pun, baik menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan. Kejujuran merupakan
derajat kesempurnaan manusia tertinggi. Seseorang tidak akan berlaku jujur,
kecuali jika dia memiliki jiwa yang baik, hati yang bersih, pandangan yang
lurus, sifat yang mulia, lidah yang bersih, serta hati yang dihiasi dengan keimanan,
keberanian, dan kekuatan. Kejujuran adalah kedudukan yang tertinggi dan jalan
yang paling lurus. Dengan jujur, kita dapat membedakan antara orang munafik dan
orang yang beriman. Kejujuran adalah roh perbuatan, tiang keimanan, dan satu
tingkat di bawah derajat kenabian. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an. Artinya
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu
dengan orang-orang yang benar (Q.S. at-Taubah/9: 119).