KH. Wahid Hasyim
KH. Wahid Hasyim
lahir dari buah kasih KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas
(Madiun) pada pagi Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Semula
ayahandanya memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya.
Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama
datuknya. Ia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.
Sejak
kecil ia sudah hobi membaca dan giat memelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya
Arab secara outodidak. Ia banyak menghafal syair-syair Arab yang kemudian
disusun menjadi sebuah buku. Ia menikah dengan Munawaroh (lebih dikenal dengan
nama Sholichah) putri KH. Bisyri Sansuri (Denanyar Jombang) pada hari Jumat, 10
Syawal 1356 H./1936 M dan dikaruniai enam orang putra-putri, yaitu Abdurrahman,
Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan Muhammad Hasyim
Pada usia 13
tahun, ia pernah posonan di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo, kemudian mondok di
Pesantren Lirboyo, Kediri,
sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman sekaligus murid
ayahnya. Pada usia 15 tahun, ia kembali ke Tebuireng dan baru mengenal huruf
latin. Setelah mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia
belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika dan lain-lain. juga rajin membaca
koran dan majalah. Beliau banyak menguasai bahasa, seperti bahasa Indonesia,
Arab, Belanda dan Inggris.
Ketika umurnya
baru 18 tahun, pada tahun 1932, Abdul Wahid pergi ke tanah suci Mekkah bersama
sepupunya, Muhammad Ilyas. Mereka berdua, selain menjalankan ibadah haji, juga
memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis.
Setelah 2 tahun berada di Tanah Suci,
ia kembali ke Tanah air giat
terjun da’wah di tengah-tengah masyarakat.dan membantu ayahnya mengajar di pesantren.
Pada usianya
yang baru menginjak 20-an tahun, KH. Wahid Hasyim sudah membantu ayahnya
menyusun kurikulum pesantren, menulis surat
balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah
dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh. Bahkan ketika ayahnya sakit, Abdul
Wahid sudah menggantikan membaca kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan
yang diikuti oleh para ulama dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.
Banyak
terobosan-terobosan besar yang ia lakukan di Pesantren Tebuireng, ia
mengusulkan merubah sistem klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan
materi pelajaran umum ke pesantren. Namun, usul ini ditolak oleh ayahnya,
karena khawatir akan menimbulkan masalah antar sesama pimpinan pesantren.
Tetapi kemudian pada tahun 1935, usulannya tentang pendirian Madrasah
Nidzamiyah, dimana 70 persen kurikulum berisi materi pelajaran umum, diterima
oleh sang ayah.
Pada tahun 1936,
Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam. Ia juga mendirikan taman bacaan
(Perpustakaan Tebuireng) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku.
Perpustakaan ini juga berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam,
Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka,
Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Ini merupakan terobosan pertama yang
dilakukan pesantren manapun di Indonesia.
Sembilan tahun
kemudian, 1947, ayahnya KH. M. Hasyim Asy’ari meningal dunia. Kiai Wahid pun
terpilih secara aklamasi sebagai pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng
menggantikan ayahandanya. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan musyawarah
keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang.
Di tengah
kesibukannya mengelola Pondok Pesantren Tebuireng, Kiai Wahid aktif menjadi
pengurus NU. Dimulai jadi Sekertaris NU Ranting Cukir, kemudian terpilih
sebagai Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang, 1938 dan Pengurus PBNU bagian
ma’arif (pendidikan), 1940. Ia giat mengembangkan dan mereorganisasi
madrasah-madrasah NU di seluruh Indonesia.
Ia menerbitkan Majalah Suluh Nahdlatul Ulama dan juga aktif menulis di Suara NU
dan Berita NU. Kemudian tahun 1946, Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua
Tanfidiyyah PBNU menggantikan Kiai Achmad Shiddiq yang meninggal dunia.
Pada bulan
November 1947, Wahid Hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan
Kongres Umat Islam Indonesia
yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres itu diputuskan pendirian
Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi), sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Ketua
umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai Hasyim Asy’ari. Namun Kiai Hasyim
melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid Hasyim.
Dalam Masyumi
tergabung tokoh-tokoh Islam nasional, seperti KH. Wahab Hasbullah, KH. Bagus
Hadikusumo, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainul Arifin, Mohammad
Roem, dr. Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto,
Mohammad Natsir, dan lain-lain.
Sejak awal tahun
1950-an, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Kiai Wahid
terpilih sebagai Ketua Umum Partai NU. Keputusan ini diambil dalam Kongres
ke-19 NU di Palembang (26-April-1 Mei 1952). Secara pribadi, Kiai Wahid tidak
setuju NU keluar dari Masyumi. Akan tetapi karena sudah menjadi keputusan
bersama, maka Kiai Wahid menghormatinya. Hubungan Kiai Wahid dengan tokoh-tokoh
Masyumi tetap terjalin baik.
Pada tahun 1939,
NU masuk menjadi anggota Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah federasi
partai dan ormas Islam di Indonesia. Setelah masuknya NU, dilakukan
reorganisasi dan saat itulah Kiai Wahid terpilih menjadi ketua MIAI, dalam
Kongres tanggal 14-15 September 1940 di Surabaya. Di bawah kepemimpinan Kiai
Wahid, MIAI melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk
mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat membatasi aktivitas
guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai
Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia
sebagai komite Nsional yang menuntut Indonesia berparlemen.
Menjelang
pecahnya Perang Dunia ke-II, pemerintah Belanda mewajibkan donor darah serta
berencana membentuk milisi sipil Indonesia sebagai persiapan
menghadapi Perang Dunia. Sebagai ketua MIAI, Wahid Hasyim menolak keputusan
itu.
Ketika
pemerintah Jepang membentuk Chuuo Sangi In, semacam DPR ala Jepang, Kiai Wahid
dipercaya menjadi anggotanya bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya,
seperti Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sartono, M. Yamin, Ki Hajat
Dewantara, Iskandar Dinata, Dr. Soepomo, dan lain-lain. Melalui jabatan ini,
Kiai Wahid berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk sebuah Badan Jawatan Agama
guna menghimpun para ulama.
Pada tahun 1942,
Pemerintah Jepang menangkap Hadratusy Sayeikh Kiai Hasyim Asy’ari dan
menahannya di Surabaya.
Wahid Hasyim berupaya membebaskannya dengan melakukan lobi-lobi politik.
Hasilnya, pada bulan Agustus 1944, Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan. Sebagai
kompensasinya, Pemerintah Jepang menawarinya menjadi ketua Shumubucho, Kepala
Jawatan Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima tawaran itu, tetapi karena alasan
usia dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya dilimpahkan kepada
Kiai Wahid.
Bersama para
pemimpin pergerakan nasional (seperti Soekarno dan Hatta), Wahid Hasyim
memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan RI. Dia membentuk
Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus
kepada para santri, serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri.
Inilah cikal-bakal terbentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah yang, bersama
PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal 29
April 1945, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), KH. Wahid Hasyim
merupakan tokoh termuda dari sembilan tokoh nasional yang menandatangani Piagam
Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi negara. Ia
berhasil menjembatani perdebatan sengit antara kubu nasionalis yang
menginginkan bentuk Negara Kesatuan, dan kubu Islam yang menginginkan bentuk
negara berdasarkan syariat Islam. Saat itu ia juga menjadi penasihat Panglima
Besar Jenderal Soedirman.
Di dalam kabinet
pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk
menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika
KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi
dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946. Setelah terjadi penyerahan
kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat
menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama
tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Selama menjabat
sebagai Menteri Agama RI,
Kiai Wahid mengeluarkan tiga keputusan yang sangat mepengaruhi sistem
pendidikan Indonesia
di masa kini, yaitu :
Mengeluarkan
peraturan pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan
pengajaran agama dilingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta.
- Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.
- Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga, mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir.
- Lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI). Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.
Pada tahun 1950,
Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga KH. Wahid tinggal di Jln.
Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952
pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman. Sekitar
setahun kemudian KH. Wahid Hasyim meninggal pada usia 38 dalam sebuah
kecelakaan mobil di Kota Cimahi Jawa Barat tanggal 19 April 1953.
Sumber: http://pesantren.tebuireng.net/