KH. Zainul Arifin Barus SumUt
Beliau lahir tahun 1909 di Barus, sebuah kota
kecil di pantai barat Sumatera Utara. Kota
yang terkenal karena produk kapur barusnya sejak 160 Masehi. Kota ini pun semakin harum karena telah melahirkan
banyak ulama-ulama besar, diantaranya Hamzah Fansuri, seorang sufi yang
terkenal dengan kitab tasawufnya.
Pengetahuan
ke-militeran H. Zainul Arifin muda didapatkannya dari pelatihan militer pertama
oleh tentara Jepang. Kemenonjolan dan ketangkasannya membuat dia diangkat
sebagai Komandan Batalion Hizbullah dan kemudian diangkat menjadi Panglima
Hizbullah. Anggotanya yang ribuan orang, terutama di Jawa dan Sumatera
sebagian besar mangikuti pendidikan militer gaya Jepang di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat.
Dalam kapasitas sebagai panglima Hizbullah itu, KH. Zainul Arifin kerap
melakukan inspeksi pasukan, terutama di basis-basis pejuangan umat Islam yaitu
pondok-pondok pesantren. Konsolidasi yang terus-menerus dengan peningkatan
keterampilan bertempur, membuat Hizbullah menjadi wadah laskar rakyat yang
disegani dan berwibawa.
Beliau pernah
menduduki jabatan Sekretaris pada Pucuk Pimpinan TNI atau semacam
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Deparetemen Pertahanan Keamanan sekarang. Ketika
Hizbullah dilebur ke dalam TNI (1945). KH. Zainul sangat kecewa dan prihatin
ketika banyak anggota Sabilillah dan Hizbullah yang tidak lulus
untuk masuk TNI padahal mereka itu yang paling gigih dalam perjuangan
kemerdekaan. Kebijakan itu diangggapnya sebagai upaya sistematis para bekas
perwira KNIL yang berkuasa dalam TNI untuk menyingkarkan para Lasykar rakyat
pejuang yang nasionalis. Bahkan sejarah
perjuangan luar biasa NU dan Hizbullah pun secara sistematis dikaburkan dari
lembaran sejarah, seperti kritik seorang peneliti dan pemerhati Indonesia
dari Belanda, Martin Van Bruinessen- NU tak pernah mendapat tempat memadai
dalam berbagai kajian pada tingkat lokal dan regional mengenai perjuangan
kemerdekaan. Namun para kiai dan santri itu sendiri meminta agar KH. Zainul
tidak memperpanjang masalah itu. Bagi kyai-santri berjuang semata-mata lillahi
ta’ala untuk memerdekakan bangsa ini, bukan untuk mengejar nama baik,
pangkat maupun jabatan. Hanya beberapa Lasykar Hizbullah yang diterima di TNI,
bagi mereka yang tidak lolos masuk TNI mereka menerima dengan ikhlas dan
kembali ke pondok pesantren untuk mendidik generasi muda.
Pada tahun 1947,
KH. Zainul Arifin diangkat sebagai anggota KNIP berkedudukan di Yogyakarta. Ketika Belanda melancarkan agresi untuk
mencengkeramkan kukunya kembali di tanah air. KH. Zainul ikut bergerilya dan
menjabat sebagai staf Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa. Salah satu tugasnya
adalah mengonsolidasikan wadah-wadah perjuangan yang tersebar dimana-mana,
termasuk dengan kelompok gerilya Jenderal Besar Sudirman.
Ketika shalat
Idul Adha tahun 1962 di Masjid Baiturrahim di halaman Istana Merdeka dengan
Imam KH. Zainul Arifin dan Bung Karno sebagai makmum. Saat melaksanakan sembahyang itu tiba-tiba mendapat serangan udara secara mendadak. Serangan itu dilakukan oleh sisa-sisa gerombolan pemberontak PRRI Permesta yang mau menghancurkan Indonesia
untuk kepentingan penjajah. Bung Karno selamat dalam insiden yang amoral itu, tetapi KH. Zainul Arifin bekas panglima Hizbullah itu mengalami-luka-luka. Dari peristiwa tersebut kesehataanya mulai memburuk
dan akhirnya beliau wafat pada maret 1963 dalam usia 54 tahun, dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dan ketika itu beliau masih menduduki jabatan
sebagai wakil ketua DPR-GR.
Sumber. KH. Zainul Arifin, panglima Hizbullah, Seorang
Pahlawan, NU Online