KH. Ridlwan Abdullah. Pencipta Lambang NU
Secara kebetulan, sehari sebelum Mu’tamar
digelar, Kiyai Ridlwan Abdullah mendapatkan petunjuk lewat mimpi seusai
melaksanakan sholat Istikhoroh. Dalam mimpi itu muncul gambar bola dunia yan
dilingkupi tali dan sembilan bintang. Keesokan harinya petunjuk itupun di
gambar oleh Kiyai Ridlwan di atas selembar kain dan ditambahi tulisan arab
Nahdlotul Ulama sebagai hasil kreasinya. Setelah jadi, gambar tersebut
disodorkan kepada para kiyai dan serentak mereka menyetujui. Maka jadilah lambang
NU seperti yang kita kenal dan kita lihat sekarang ini.
Sang Pencipta Lambang Nahdlotul Ulama’ yang
elegan itu adalah anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan Kiyai Abdullah
dan Nyai Marfu’ah, lahir di kampung Carikan Praban Surabaya pada tanggal
01 Januari 1885 dan wafat pada tahun 1962. Dimakamkan
di Tembok, Surabaya.
Setelah lulus dari sekolah setingkat Sekolah
Dasar, beliau mondok di sejumlah pesantren, diantara salah satunya adalah di
pesantren Syaikh Kholil Bangkalan. Beliau ikut ndalem Syaikh Kholil, membantu
urusan rumah tangga Syaikh Kholil, seperti bersih-bersih rumah, mencuci pakaian
dan mengasuh putera Syaikh Kholil dan lain-lain. Setelah lama nyantri di
pesantren Syaikh Kholil dan membantu urusan rumah tangga Syaikh Kholil, suatu
ketika Syaikh Kholil berteriak “Maling, maling….! sambil menuding kearah Kiyai
Ridlwan. Serentak saja ia lari pontang panting demi menghindari amukan para
santri yang membawa alat pukul sekenanya. Untung Kiyai Ridlwan berhasil lolos,
sehingga tidak babak belur diamuk para santri.
Sampai dirumah diceritakanlah apa yang terjadi
kepada orang tuanya yang terkejut melihat penampilan anaknya yang dekil dan
lusuh. Mendengar itu, ayahnya pergi ke Bangkalan guna melakukan klarifikasi. Alangkah
kagetnya Kiyai Abdullah, sebelum satu patah kata-pun diucapkan, Syaikh Kholil
Bangkalan sudah berkata terlebih dahulu “Anakmu itu nakalan, wong sudah
pinter, sudah banyak menguasai ilmuku, kok masih betah di sini, kalau tidak
pakai cara itu, dia tidak akan mau pulang” jelas Waliyullah itu. Subhanalloh.
Setelah itu Kiyai Ridlwan meneruskan belajarnya
di Tanah Suci. Bahkan sempat dua kali, pertama dari tahun 1901 sampai tahun
1904, dan yang kedua dari tahun 1911 sampai tahun 1912. Maka mulai dari tahun
1912 inilah, beliau pulang ke Tanah Air dan menetap di Surabaya.
Semasa hidupnya Kiyai Ridlwan sempat menikah
dua kali. Dari pernikahan pertama lahir KH. Mahfudz, KH. Dahlan (keduanya
anggota TNI) dan Afifah. Setelah sang istri wafat, beliau menikah lagi hingga
lahir juga tiga anak, yaitu KH. Mujib Ridlwan, KH. Abdullah Ridlwan dan Munib.
Kiyai Ridlwan dikenal sebagai kiyai yang low
profile, baik dalam bermasyarakat maupun dalam berorganisasi, bersahaja dan sederhana. Meskipun di rumah
mertuanya tersedia beberapa kereta kuda bahkan ada juga sepeda motor, untuk
keluar rumah, Kiyai Ridlwan lebih memilih berjalan kaki dengan kitab salaf
ditangan kanan dan payung hitam ditangan kirinya. Biasanya, dibelakangnya ikut
satu dua anak kecil yang dengan setia mengikutinya, baik sekedar untuk bermain
hingga menghadiri pengajian yang dipimpinnya. Nampaknya, gemerlap harta tidak
membuat Kiyai Ridlwan terlena (bahkan dikemudian hari, beliau rela menjual
beberapa tokonya demi NU). Hari-hari beliau disibukkan dengan hal-hal ukhrowi.
Hampir tiap malam beliau mengisi pengajian dari musholla atau masjid satu ke
lainnya, masuk keluar kampong.
Beliau adalah salah satu motor penggerak
lahirnya Nahdlotul Ulama, selain KH. Wahab Hasbullah dan Mas Alwi. KH. Wahab
Hasbullah dengan gagasan-gagasan cemerlangnya, Mas Alwi dengan usulan namanya
dan KH. Ridlwan Abdullah dengan desine lambangnya. Saduran bebas dari Risalah
NU