Aliran Khowarij
Pengertian Khowarij
Khawarij adalah bentuk jama’. Mufrodnya adalah khoorij artinya orang yang keluar. Jadi Khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan orang-orang Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Khawarij adalah bentuk jama’. Mufrodnya adalah khoorij artinya orang yang keluar. Jadi Khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan orang-orang Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Mereka sendiri lebih suka
menamakan diri dengan Syurra’ atau Para Penjual, yaitu orang-orang yang
menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan
firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang
dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah,
yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah,
karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma
illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah).
Sejarah Munculnya
Khowarij
Setelah terbunuhnya Khalifah
Usman bin Affan, seluruh kaum muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah, namun gubernur Syam yaitu Muawiyyah bin Abu Sofyan tidak mau
membaiatnya, bahkan memberontak dan berusaha merebut kekhalifahan. Maka
terjadilah perang Shiffin antara Ali melawan Muawiyyah.
Tentara Syam sudah tersudut dan hampir kalah, untuk
menunda kekalahan Amr bin Ash, salah seorang panglima Muawiyah mengusulkan agar
Al-Qur’an diikat pada ujung tombak dan menawarkan perundingan damai dengan
pihak Ali. Siasat
tersebut kemudian dilaksanakan dan berhasil membuat para Qurra (penghafal
Al-Qur’an) dari kalangan tentara Ali bin Abi Thalib menghentikan peperangan dan
didukung oleh sebagian anggota tentara Ali bin Abi Thalib.
Akhirnya antara pihak Ali dan
Muawiyah masing-masing mengirimkan seorang wakil untuk melakukan perundingan
arbitrase mencari solusi damai atas pertikaian perebutan kekhalifahan yang
sedang terjadi. Khalifah Ali mula-mula menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai
wakilnya, namun penunjukan Ali tersebut ditolak dan ditentang oleh sebagian
tentaranya. Akhirnya pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari,
sedangkan pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash.
Kedua juru runding itu sebelumnya sepakat menurunkan Ali
dan Muawiyah dari kekhalifahan untuk kemudian mencari orang ke tiga yang akan
diangkat sebagai khalifah yang baru. Mula-mula yang pertama naik ke mimbar adalah Abu
Musa Al-Asy’ari wakil dari kelompok Ali menyatakan menurunkan Ali dari
kekhalifahan. Giliran kedua Amr bin Ash naik ke mimbar, tetapi Amr bin Ash
tidak menepati kesepakatan sebelumnya yang telah dibuat. Saat diatas mimbar Amr
bin Ash menetapkan Muawiyah sebagai khalifah yang syah. Menyadari kelicikan
siasat Amr bin Ash maka hasil arbitrase tersebut tidak diakui oleh pihak Ali.
Sebagian pengikut Ali
tiba-tiba menolak dan mengecam arbitrase tersebut dan menyalahkan Ali karena
mau melakukan “tahkim” atau arbitrase tersebut. Mereka keluar dari
barisan pengikut Ali dan membentuk kelompok sendiri yang dikenal sebagai
kelompok khawarij.Mereka berjumlah sekitar
12.000 orang dan memusatkan gerakannya di Harurah, sehingga kelompok ini
dikenal juga dengan istilah kelompok Haruriah. Mereka berpendapat bahwa Ali
telah menjadi kafir karena mau melakukan tahkim arbritase dan menuntut Ali agar
melakukan tobat. Demikian juga mereka mengkafirkan Muawiyah yang dianggap salah
satu penyebab pertumpahan darah sesama kaum muslimin.
Kaum khawarij dikenal banyak membaca Al-Qur’an, rajin
puasa dan tahajud namun suka berbuat anarkis, merampok baitul mal gubernur Basrah,
mengkafirkan dan membunuh orang-orang yang tidak sefaham dengan mereka. Suatu
ketika ada khafilah yang berpapasan dengan mereka, kemudian khafilah itu
ditanya pendapatnya tentang Ali dan peristiwa arbitrase, khalifah itu memberi
penilaian yang baik kepada Ali, maka merekapun membunuhnya dan semua anggota
rombongan khalifah termasuk seorang wanita yang sedang hamil. Kelompok Khawarij
awal mulanya hanya kelompok politik, tapi kemudian berkembang menjadi aliran
ilmu kalam.
Doktrin-doktrin
Pokok Aliran Khowarij
Pokok-pokok pikiran mereka dalam ilmu kalam adalah :
- Menolak tahkim / arbitrase.
- Membolehkan Khalifah bukan dari suku Quraisy, bahkan dari kalangan mana saja.
- Mengharuskan seorang khalifah berbuat adil dan menetapi syariat Islam.
- Khalifah yang dianggap telah menyimpang dari syariat Islam wajib diturunkan, bila perlu secara paksa dan dibunuh.
- Melakukan pemberontakan kepada Khalifah yang mereka anggap dzalim dan tidak adil.
- Menganggap pelaku dosa besar adalah kafir.
- Membolehkan membunuh golongan diluar kelompoknya.
- Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
- Adanya wa’ad dan wa’id (orang baik harus masuk surga dan orang jahat harus masuk neraka).
- Amar ma’ruf nahi mungkar.
- Al-qur’an adalah makhluk.
- Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
D.
Sekte-sekte
Aliran Khawarij dan Prinsip-prinsip Ajarannya
Aliran Khawarij dalam perkembangannya pecah menjadi
beberapa sekte, yang paling keras adalah sekte Azzariqah dibawah
pimpinan Nafi Ibnu Azraq. Golongan ini berpendapat bahwa orang-orang Islam
yang tidak sefaham dengan mereka adalah kafir dan akan kekal selama-lamanya
dalam neraka, walaupun ia meninggal ketika masih anak-anak. Termasuk dalam
sekte ini adalah Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Khalifah Ali
ketika sedang sholat Subuh di Kufah. Sedangkan yang paling lunak adalah sekte Ibadiah
pimpinan Abdullah bin Ibad yang tidak sampai mengkafirkan dan masih
menganggap Islam kelompok diluar mereka. Ada juga sekte-sekte khowarij yang agak
lunak seperti kelompok Najdah Ibnu Amir Al-Hanafi dari Yamamah, kelompok Ziad
Ibnu Asfar. Berikut ini adalah beberapa sekte aliran Khowarij dan prinsip-prinsip
ajarannya:
1) Azzariqah
Aliran
ini dipimpin oleh Nafi’ ibn al-Azraq yang berasal dari bani hanifah. Khalifah
pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri dan kepadanya mereka beri gelar
Amir al-Mu’minin. Mereka merupakan pendukung terkuat madzhab Khawarij yang
paling banyak anggotanya dan paling terkemuka di antara semua aliran madzhab
ini. Daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan Irak dengan Iran
Prinsip
yang membedakan aliran Azariqah dari aliran lain adalah:
- Mereka memandang orang yang berbeda pendapat dengan mereka tidak hanya bukan mu’min, tetapi juga musyrik, kekal dineraka serta halal diperangi dan dibunuh.
- Mereka berpendapat bahwa anak-anak dari orang yang berbeda paham dengan Azariqah adalah kekal dineraka.
- Dalam bidang fiqh, mereka tidak mengakui adanya hokum rajam. Alasan mereka, dalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW tidak ditemukan hukuman bagi pelaku zina kecuali hokum jild (cambuk seratus kali)
- Menurut paham yang ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya orang islam. Orang islam yang di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi. Oleh karena itu kaum al-Azariqah disebut sebagai Ibn Al-Hazm, selalu mengadakan isti’rad yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku orang islam yang tak termasuk dalam golongan al-Azariqah, mereka dibunuh.
2). Al-Muhakkimah
Golongan
khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan
al-Muhakkimah. Bagi mereka, Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara Amr Ibn al-Ash dan
Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan
menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga
termasuk ke dalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
Berbuat
zina dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka menurut paham golongan ini
orang yang mengerjakan zina telah menjadi kafir dan keluar dari islam. Begitu
pula membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar
3). Najdah
Sekte
ini dinamakan al-Najdah karena dinisbatkan kepada pimpinan terpilihnya, yaitu
Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah di Arabia Tengah. Terpilihnya Najdah
sebagai pemimpin sekte ini tidak terlepas dari sumbangan Abu Fudaik dan
kawan-kawannya yang pada awalnya adalah pengikut al-Azraq dari sekte al-Zariqah
juga. Para pendiri sekte ini pergi meninggalkan al-Zariqah disebabkan karena
mereka tidak dapat menerima beberapa ajaran yang ekstrem dari al-Zariqah. Di
antaranya tentang orang yang tidak mau berhijrah ke lingkungan al-Zariqah
adalah musyrik. Dan ajaran yang membolehkan membunuh anak dan isteri
orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka.
Bagi
mereka orang yang tidak secara aktif mendukung mereka tidaklah dianggap kafir,
tetapi hanya sekedar munafik. Mereka memberikan wewenang kepada anggotanya
untuk hidup di wilayah lain, sekalipun di luar wilayah kekuasaan Khawarij.
Mereka membolehkan anggotanya untuk melakukan taqiyah (yaitu suatu sikap yang
menyembunyikan pandangan ke-Najdahannya).
Penganut aliran Najdah berpendapat bahwa mengangkat
imam bukan wajib karena syari’at telah menggariskannya, tetapi karena
kemaslahatan. Dengan kata lain, jika kaum muslimin telah dapat saling
mengingatkan tentang kebenaran dan melaksanakannya, maka mereka tidak
membutuhkan adanya imam (khalifah).
d). Shafriyyah
Penamaan
sekte ini juga dinisbatkan kepada tokoh utamanya, yaitu Zaid Ibn al-Asfar.
Aliran ini juga dianggap ekstrem seperti al-Zariqah. Di antara
pendapat-pendapat mereka juga ada yang terkesan lebih lunak terutama untuk
hal-hal berikut ini:
- Orang Shafriyyah yang tidak berhijrah tidaklah dipandang kafir.
- Mereka tidak sependapat dengan pendapat yang boleh membunuh anak-anak orang kafir (musrik).
- Mereka membagi dosa besar menjadi dua, yaitu: Dosa besar yang ada sangsinya di dunia seperti berzina, membunuh, dan mencuri. Dosa besar yang tidak ada sangsinya di dunia seperti meninggalkan shalat dan puasa.
- Cakupan dar al-harb (daerah yang harus diperangi) juga dibatasi.
- Kufur tidaklah selamanya keluar dari agama Islam.
- Taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
- Untuk keamanan diri, seorang wanita muslim boleh kawin dengan satu lelaki kafir, di daerah bukan Islam.
e). Aljaridah
Aliran
ini dipimpin oleh Abdul Karim ibn Ajrad, salah seorang pengikut Athiyyah ibn
al-Aswad al- Hanafi yang keluar dari aliran Najdah bersama beberapa pengikutnya
dan pergi ke Sijistan. Karena mereka merupakan pecahan dari aliran Najdah, maka
banyak paham mereka yang berdekatan dengan paham aliran Najdah.
Diantara
pendapat mereka ialah boleh mengangkat seseorang menjadi pemimpin jika
diketahui bahwa orang tersebut adalah penganut Khawarij yang bertakwa walaupun
ia tidak turut perang. Dalam hal ini pandangan mereka berbeda dengan pandangan
aliran Azariqah yang mewajibkan jihad secara terus menerus. Menurut mereka
berhijrah hanya merupakan kebajikan.
Selanjutnya
kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam al-Qur’an
membawa cerita cinta dan al-Qur’an, sebagai kitab suci, kata mereka, tidak
mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui surat
Yusuf sebagai bagian dari al-Qur’an.
Sebagai
golongan Khawarij lain, golongan Ajaridah ini juga terpecah belah menjadi
golongan-golongan kecil, ini disebabkan adanya perbedaan pendapat disekitar
masalah daya yang terdapat didalam diri manusia dan masalah status anak-anak
dari orang yang berbeda paham dengan mereka. Perdebatan yang terjadi diantara
mereka biasanya bermula dari hal-hal kecil, kemudian meluas kepada
masalah-masalah yang lebih besar, dan akhirnya menimbulkan perpecahan ke dalam
banyak kelompok. Diantara mereka, yaitu golongan al-Maimuniah, menganut paham
qadariyah. Bagi mereka semua perbuatan manusia, baik dan buruk, timbul dari
kemauan dan kekuasaan manusia sendiri. Golongan al-Hamziah juga mempunyai paham
yang sama. Tetapi golongan al-Syu’aibiah dan al-Hazimiah menganut paham
sebaliknya. Bagi mereka tuhanlah yang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
manusia. Manusia tidak dapat menentang kehendak Allah.
f). Ibadhiyyah
Sekte
ini juga dinisbatkan kepada pimpinannya, yaitu ‘Abdullah Ibn Ibad. Sebelumnya,
Ibn Ibad adalah pengikut al-Zariqah. Karena tidak bisa menerima
pendapat-pendapat ekstrem al-Zariqah, maka ia kemudian memisahkan diri dari
kelompok ekstrem itu.
Aliran
Ibadhiyyah merupakan penganut paham khawarij yang paling moderat, adil dan
luwes.
Sebagian
pendapat fiqh mereka diadopsi oleh perundang-undangan Mesir, khususnya dalam
masalah kewarisan, yaitu tentang pewarisan karena memerdekakan seseorang. Beberapa
pendapat mereka yang menonjol ialah:
- Orang yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musrik, tetapi kafir, yaitu kafir akan nikmat, bukan kafir dalam keyakinan, karena orang tersebut tidak mengingkari adanya Allah, tetapi hanya lengah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
- Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah dar al-harb, tetapi tetap dar al-tauhid.
- Pelaku dosa besar masih tetap muwahhid, yaitu orang yang meng-Esa-kan Tuhan.
- Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda, senjata, dan perlengkapan perang lainnya
E. Aliran Khawarij Pada saat ini
Secara formal, Khawarij sudah tidak ada, tetapi secara substansi paradigma
pemikiran dan ciri-ciri alirannya masih hidup dan berkembang hingga sekarang.
Pada masa sekarang, pemberontakan bersenjata dan praktik
mengafirkan orang Islam telah terjadi di wilayah Arab bagian timur laut pada
peralihan abad ke-19 seperti yang ditulis oleh para cendekiawan Islam: Istilah
Khawarij berlaku bagi kelompok yang bersimpang jalan dengan orang-orang Islam
dan menganggap mereka sebagai orang-orang kafir, seperti yang terjadi pada
zaman sekarang ini dengan para pengikut Ibn ‘Abd al-Wahhâb yang muncul di Najd
dan menyerang dua tempat suci umat Islam.
Belakangan ini, beberapa ulama mengritik aliran Wahabi
atau “salafî” sebagai kelompok yang secara politik tidak benar. Praktik
mengafirkan menjadi ciri utama yang bisa dikenali dari kelompok neo-Khawarij
pada masa modern ini. Mereka kelompok yang senang menghantam orang-orang Islam
dengan tudingan kafir, bidah, syirik, dan haram, tanpa bukti atau pembenaran
selain dari hawa nafsu mereka sendiri, dan tanpa memberikan solusi selain dari
sikap tertutup dan kekerasan terhadap siapa pun yang berbeda pendapat dengan
mereka.
Mereka sama sekali tidak ragu-ragu menjatuhkan hukuman
mati terhadap orang-orang yang mereka tuduh kafir, sehingga mereka benar-benar
telah meremehkan kesucian jiwa dan kehormatan saudara-saudara mereka sendiri.
Imam al-Nawawî berkata, “Orang-orang ekstrem merupakan kelompok fanatik yang
sudah melampaui batas, dalam ucapan maupun perbuatan,” dan “keras pendirian.”
Melakukan praktik takfîr terhadap sesama muslim merupakan ciri kelompok
Khawarij.
Mereka mencampuradukkan berbagai hal menurut selera
mereka, asalkan sesuai dengan kepentingan mereka. Bahkan, mereka tidak
memiliki latar belakang ilmu-ilmu keislaman sedikit pun, dan mereka menggunakan
ayat-ayat Al-quran mengenai orang-orang kafir keluar dari konteksnya, dan
menerapkannya kepada orang-orang Islam. Seperti yang disebutkan sebelumnya,
orang-orang Khawarij tidak terbatas pada masa tertentu, tetapi merupakan
karakter yang melekat pada kelompok atau orang yang keluar dari batas-batas
agama, dengan menuduh orang Islam sebagai kafir.
Inilah metode yang dikembangkan oleh kelompok Khawarij,
dulu dan kini, dan kemunculan anak-anak muda Khawarij yang menyesatkan itu
telah disinggung 1400 tahun yang lalu oleh Nabi Muhammad saw. Kelompok Khawarij
dewasa ini terdiri dari para pengikut aliran Wahabi atau “Salafi”. Mereka
sangat aktif menyebarluaskan kepalsuan ajaran mereka dengan propaganda
besar-besaran, melalui ceramah di masjid, internet, televisi, atau
penyebarluasan video, koran, buku, majalah, dan brosur. Sementara itu, mereka
menekan dan menyembunyikan kebenaran ajaran-ajaran Islam klasik yang menjadi
arus utama umat Islam, dan berkomplot untuk membungkam siapa pun yang menentang
sikap ekstrem mereka.
Sumber,
Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1972, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Yogyakarta:
PT Pustaka Rizki Putra,
Harun Nasution. 1986, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta:UI Press,
Prof. DR. Imam Muhammad Abu
Zahrah. 1996,
Alirah Politik dan aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing
House,
Dr. Abdul Rozak, M.Ag., dan
Dr. Rosihon, M.Ag. 2001,
“Ilmu Kalam”. Bandung :Pustaka Setia.