Aliran Syi'ah
Pengertian Syi’ah dan Sejarah Awal
Kemunculannya
Syi'ah menurut bahasa berarti “golongan atau kelompok”, atau berarti “pengikut atau pendukung”. Sedangkan menurut isthilah, syi’ah adalah Golongan yang memuja-muja Sayyidina Ali bin Abi Tahlib dan keturunannya. Mereka menganggap Sayyiddina Ali-lah yang paling berhak menjadi Khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pelopor gololngan ini adalah Abdullah bin Saba’ pendeta Yahudi asal Yaman yang masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.
Berawal dari rasa sakit hati karena kedatangannya di Madinah tidak disambut oleh Khalifah Utsman bin Affan, Abdullah bin Saba’ kemudian mengadakan oposisi dengan mengeluarkan isu-isu provokatif bahwa sesungguhnya yang berhak menjadi kholifah sepeninggal rasullah SAW adalah Ali bin Abi Thalib, sementara ketiga Khalifah sebelumnya tidak sah secara hukum. Mereka ini menamakan diri pecinta Ahlul Bait (keluarga Nabi) dan Syi’ah Ali (pengikut atau pendukung Ali). Namun mereka masih fakum pada masa Utsman bin Affan .
Perbedaan itu di antaranya :
Syi'ah menurut bahasa berarti “golongan atau kelompok”, atau berarti “pengikut atau pendukung”. Sedangkan menurut isthilah, syi’ah adalah Golongan yang memuja-muja Sayyidina Ali bin Abi Tahlib dan keturunannya. Mereka menganggap Sayyiddina Ali-lah yang paling berhak menjadi Khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pelopor gololngan ini adalah Abdullah bin Saba’ pendeta Yahudi asal Yaman yang masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.
Berawal dari rasa sakit hati karena kedatangannya di Madinah tidak disambut oleh Khalifah Utsman bin Affan, Abdullah bin Saba’ kemudian mengadakan oposisi dengan mengeluarkan isu-isu provokatif bahwa sesungguhnya yang berhak menjadi kholifah sepeninggal rasullah SAW adalah Ali bin Abi Thalib, sementara ketiga Khalifah sebelumnya tidak sah secara hukum. Mereka ini menamakan diri pecinta Ahlul Bait (keluarga Nabi) dan Syi’ah Ali (pengikut atau pendukung Ali). Namun mereka masih fakum pada masa Utsman bin Affan .
Golongan Syi’ah ini baru intens dan
berkembang pada masa pemerintahan Sayyidina Ali, ketika konflik antara
Sayyidina Ali dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan kian memanas, muncullah
kembali Abdullah bin Saba’ dengan
memperlihatkan kecintaannya terhadap Sayyidina Ali sambil berusaha memanfaatkan
konflik sebagai alat untuk memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam.
Kemudian pada masa kholifah Bani Umayyah, golongan ini semakin berkembang
pesat, meskipun akhirnya timbul pergolakan dan terpecahlah mereka menjadi
beberapa sekte.
B.
Abdullah bin Saba’ dan Usahanya
Menyebar Fitnah dan Kerusakan
Abdullah bin Saba’ adalah seorang pembohong
besar, seorang yahudi yang pura-pura masuk Islam. Dalam berbagai Literatur, Ia disebut-sebut sebagai tokoh yang banyak
berperan dalam memecah belah umat Islam. Para pakar sejarah, banyak yang
mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah seorang yahudi yang selalu
berkeliaran dari kota satu ke kota lainnya, dari desa satu ke desa lainnya guna
menghasut dan memperdaya manusia, berusaha mengobarkan kebencian umat Islam
terhadap Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman dan sahabat-sahabat
Rasulullah SAW lainnya. sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Tarikh
At-Thobari, bahwa Abdullah bin Saba’
selalu menyebarkan fitnah dengan isu-isu profokatif dari Madinah ke Mesir dan
terus ke Basroh. Tetapi saat di Basroh,
Ia di usir oleh Hakim bin Jiblah,
lalu Ia lari ke Kufah, kemudian ke Fustat. Di manapun Ia berada, penduduk
tempat itu sedikit atau banyak dapat di prediksi terkena wabah fitnah yang Ia
sebarkan. Masih dalam kitab Tarikh At-Thobari, Imam at-Thobari berkata,
“Bahwa Abdullah bin Saba’ pernah
datang ke Syam menemui Abu Dzar guna menghasutnya, agar menentang Mu’awiyah.
Katanya (Abdullah bin Saba’), “Mu’awiyah telah berkata, bahwa
harta adalah harta Allah, ketahuilah! Apapun itu adalah milik Allah, Ia
kumpulkan dan Ia simpan harta itu untuk dirinya sendiri bukan untuk umat Islam.
Dia juga pernah mendatangi Abu Darda’, tetapi pada saat Ia mencoba menghasut
Abu Darda’, Abu Darda’ berkata kepadanya “Engkau siapa? Aku yakin demi Allah,
bahwa engkau adalah orang Yahudi.
Dalam kitab Rijalul Kasyi, Al-Kasyi,
seorang yang sangat di hormati di kalangan orang-orang Syi’ah mengatakan, “Dari
Abdullah bin Sinaan, Ia berkata, Abu Abdullah (Ja’far) Alaihis Salam telah
berkata, “Kami ahlul bait (keluarga Nabi SAW) adalah orang-orang yang benar.
Tetapi seseorang senantiasa membuat banyak kebohongan tentang kami, sehingga
kebenaran kami tertutupi oleh kebohongan itu. Rasulullah SAW adalah
sebenar-benarnya manusia dalam perkataannya, orang yang paling benar diantara
makhluq-makhluq ciptaan Allah. Tetapi Musailamah al-Kadzab itu telah membuat
kebohongan tentang beliau. Begitu juga Amirul Mu’min (Ali) Alaihis Salam,
adalah manusia yang paling benar setelah Rasulullah SAW, bersih dari dosa
semata-mata karena Allah. Tetapi Abdullah bin Saba’
telah membuat banyak kebohongan tentangnya, berusaha untuk mendustakan
kebenarannya. Abdullah bin Saba’
lah yang telah membuat kebohongan itu.
Begitulah sedikit gambaran Abdullah
bin Saba’, Gembong sekaligus Tokoh utama Syi’ah yang tidak lagi bisa di
pungkiri kepiawaiannya dalam menghasut, mengadu domba dan membohongi orang
lain. Na’uuzhu billahi min zhalik.
C.
Sekte-sekte Syi’ah dan Orang-Orang
yang di Tokohkannya
Sebab-sebab perpecahan golongan
Syi’ah diantaranya adalah :
1. Karena mereka berbeda ajarannya. Di antaranya ada yang berpaham
ekstrim dengan mendewa-dewakan atau mensucikan imam-imam mereka dan
mengkafirkan pihak lain, sebut saja diantaranya adalah Syi’ah Ghurabiyah,
yaitu yang berpendapat bahwa kerasulan sebenarnya adalah hak Ali bin Abi
Tholib, tetapi Malikat Jibril keliru waktu datang menyampaikan wahyu. Syi’ah
Sabaiyah, yaitu pengikut-pengikut Abdullah ibn Saba’ yang menganggap
Sayyidina Ali sebagai tuhan. Dan ada pula yang berpaham moderat yang
hanya mengangap keliru, tanpa mengkafirkan terhadap orang-orang yang mempunyai
paham lain, seperti Syi’ah Zaidiyah yang dipimpin Zaid bin Ali bin
Husein bin Ali bin Abi Tholib. Sekte ini tidak terlalu jauh berbeda dengan
faham aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, hanyasaja mereka beranggapan bahwa
Sayyidina Ali lebih utama daripada Abu Bakar, Umar dan Utsman Rodliyaallu
‘Anhum.
2. Karena keturunan Sayyidina Ali bin
Abi Tholib dan para puteranya banyak, maka sering terjadi perbedaan dalam
menentukan mana yang berhak menjadi imam dan mana yang tidak. Diantara mereka ada
yang beranggapan bahwa yang lebih berhak menggantikan Husein menjadi
Imam adalah putera Sayyidina Ali yang bukan dari Fatimah binti Rasulullah SAW,
yaitu Muhammad Ibn Hanafiyah, sekte ini lalu dikenal dengan nama Kaisaniyah,
sementara yang lainnya berpendapat bahwa yang berhak menggantikan Husein
ialah Ali Zainal Abidin (wafat tahun 94 H), keturunan Sayyidina Ali yang dari
Fathimah.
Setelah Imam
ke-empat wafat, yaitu Ali Zainal Abidin, sebagian dari mereka ada yang
berpendapat bahwa pengganti Ali Zainal Abidin adalah Zaid bin Ali bin
Husein, sekte ini kemudian dikenal dengan Syi’ah Zaidiyah. Sementara yang lainnya
berpendapat bahwa yang harus menggantikan Ali Zainal Abidin adalah Abu
Bakar Muhammad al-Baqr, sekte ini kemudian dikenal dengan Syi’ah
Imamiyah,
Sesudah imam
keenam, yaitu Abu Abdilah Ja’far Shadiq wafat pada tahun 148 H. Syi’ah
imamiyah terbagi menjadi dua sekte yaitu, Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah
Sab’iyah, Sekte ini hanya mengakui bahwa imam itu hanya ada tujuh, dan imam
yang ketujuh itu adalah Ismail Ibn Ja’far. Dan Syi’ah Ja’fariyah
atau Syi’ah Itsna Asyariyah. Sekte yang kedua ini mengakuai bahwa Musa
al Kadzim-lah yang menjadi Imam ke tujuh sebagai pengganti Ja’far Shadiq.
Mereka juga berkeyakinan bahwa Imam mereka itu berjumlah dua belas dan yang
terakhir bernama Muhammad bin Hasan Al-Mahdi yang hilang ketika berusia
lima tahun, serta dinantikan dan diyakini kehadirannya kelak dikemudian
hari/menjelang Hari Kiamat.
Jelasnya, bahwa sekte Syi’ah
ternyata cukup banyak, bahkan sampai 22 sekte. Dari 22 sekte tersebut yang
masih bertahan sampai sekarang hanya dua sekte saja, yaitu,
1. Syi’ah Zaidiyah adalah sekte Syi’ah
pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Mereka tergolong
Syi’ah yang moderat, karena tidak berpendapat bahwa Ali dan keturunannya yang
berkhak menjadi Khalifah. Mereka juga tidak memvonis, bahwa ketiga khalifah itu
tidak sah. Mereka juga berpendapat bahwa Imam itu harus dari keturunan
Ali-Fathimah, namun tidak menolak dari golongan lain apabila memang memenuhi
syarat-syarat yang diperlukan. Oleh karena itu mereka mengakui Abu Bakar dan
Umar menjadi khalifah, walaupun menurut urutan prioritas seharusnya Ali yang
harus menjadi Khalifah. Imam tidak ma’shum. Sebagai manusia dapat saja ia
berbuat salah dan dosa, seperti manusia lain. Tidak ada Imam dalam kegelapan
yang diliputi oleh berbagai misteri. Mereka tidak mengajarkan “taqiyah” yaitu
sikap pura-pura setuju tetapi batinnya memusuhinya. Mereka mengharamkan nikah
mut’ah.
2.
Syi’ah Rofidloh. Kata Rofidloh berasal
dari kata “Rofadloh” yang artinya menolak atau meninggalkan. Sekte ini mulannya
adalah sekelompok orang syi’ah Zaidiyah asal kuffah yang membuat rumor
bahwasanya Imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Tholib mengatakan “Bahwa
Abu Bakar dan Umar adalah orang-orang yang lalim dan telah berbuat kejam
terhadap Sayyidina Ali”. Mendengar ini Imam Zaid bin Ali bin Husein
menyangkal rumor tersebut dengan perkataannya “Aku sama sekali tidak pernah
berkata begitu, bahkan aku menganggap Abu Bakar dan Umar adalah orang-orang
baik, seperti itu pula-lah yang aku dengar sendiri dari ayahku, keduanya dulu
juga orang-orang yang getol membantu datukku”. Mendengar pernyataan Imam
Zaid seperti itu, mereka lalu meninggalkan dan memisahkan diri dari Imam Zaid.
Sehingga Imam Zaid berkata “Rofadl-tumuuni” (Kalian telah
meninggalkanku). Sejak itulah mereka dikenal dan populer dengan julukan “Rofidloh”,
yaitu julukan bagi orang-orang yang meninggalkan dan menolak pernyataan Imam
Zaid. Selain itu mereka juga menolak keabsahan kholifah Abu Bakar, Umar dan
Utsman, dan mereka menetapkan bahwa hanya Ali bin Abi Tholib lah yang berhak
menggantikan Rasulullah SAW, mereka pun menganggap bahwa para Imam itu ma’shum
terhindar dari berbuat salah. Dan pada akhirnya mereka dikenal juga dengan
sebutan Syi’ah Imamiyah yang kemudian terpecah lagi menjadi dua, yaitu,
- Syi’ah Isma’iliyah atau Syi’ah Sab’iyah adalah sekte syi’ah yang mempercayai bahwa imam itu hanya ada tujuh, yaitu mulai dari imam pertama, Ali bin Abi Thalib sampai imam yang ketujuh. Akan tetapi dalam kepercayaan mereka, imam yang ketujuh itu bukan Musa al-Kazhim bin Ja’far al-shadiq seperti yang dipercaya oleh Syi’ah itsna Asyariyah, melainakan Ismail bin Ja’far.
- Syi’ah Ja’fariyah atau Syi’ah Itsna Asyariah. Penamaan ini karena mereka mempunyai kefahaman bahwa yang berhak memimpin umat Isalm adalah, 1. Ali bin Abi Thalib, 2. Hasan bin Ali bin Abi Thalib, 3. Husein bin Ali bin Abi Thalib, 4. Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, 5. Muhammad Baqir bin Ali bin Zaenal Abidin, 6. Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-baqir, 7. Musa al-Kazhim bin Ja’far al-Shadiq, 8. Ali al-ridha bin Musa Al-Kazhim, 9. Muhammad Al-Jawwad bin Ali al-Ridha, 10. Ali Muhammad bin Ali al-Ridha 11. Hasan bin Ali bin Muhammada Al-Askari dan 12. Muhammad bin Hasan Al-Mahdi yang hilang ketika berusia lima tahun, serta dinantikan dan diyakini kehadirannya kelak dikemudian hari/menjelang Hari Kiamat.
D. Pokok-Pokok
Ajaran Syi’ah Imamiyah
Telah banyak disebutkan dalam literatur Syi’ah Imamiyah (Rofidloh),
baik yang Isma’iliyah atau yang Ja’fariyah. Seperti al-Kafi lil
Kulaini, al-Ihtijaj lit Tibrisi, al-Istibhar lit Thusi, Kasyful Ghummah lil
Ardabulli, al-Amali libni Babawaih dan lain-lain, bahwa pokok-pokok ajaran
Syi’ah Imamiyah dapat disimpulkan diantaranya sebagai berikut,
a. Tentang
al-Qur’an
Al-Qur’an yang
ada sekarang ini (Mushaf Utsmani) menurut mereka banyak perubahan dan
kekurangannya, dan mereka menuduh Sayyidina Utsman yang merubah dan
menguranginya, diantaranya adalah tidak ada Surat Wilayah atau Surat Wishoyah. Padahal
merekalah sendiri yang menambah dan merubah al-Qur’an. Mereka menyebut Qur’an
Mereka dengan sebutan Mushaf Fatimah, yang sampai sekarang ini masih ditangan
al-Qo’im, yaitu imam ketujuh (menurut syi’ah Sab’iyyah) dan imam kedua belas
(menurut syi’ah Itsna Asyariyah).
Kepercayaan
Syi’ah bahwa al-Qur’an telah banyak perubahan dan kekurangannya, sama halnya
mereka tidak mempercayai jaminan Allah SWT terhadap al-Qur’an, dan ini berarti
mereka tidak percaya akan kekuasaan Allah. Dalam Surat
al-Hjr ayat 9 Allah SWT berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sungguh Kami
(Allah)-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami juga-lah yang memeliharanya”.
Dalam Surat yang lain,
yaitu Surat Fushshilat ayat 42, Allah pun berfirman,
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ
مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan
baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang maha
bijaksana lagi maha terpuji”.
b. Wishayah
Wishayah dalam
doktrin Syi’ah bukanlah pencalonan atau pemilihan namun “pengangkatan”
yang dilakukan oleh Nabi. Mereka
meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah mewasiatkan bahwa pengganti beliau
adalah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa pengangkatan ini berdasarkan pada hadits
yang terkenal dengan hadits Ghadir Khum, yaitu, “Man Kuntu Maulahu
Fa ‘Aliyyun Maulaahu”. Hadits ini sangat populer di kalangan Syi’ah karena
menurut mereka hadits ini adalah sebagai bukti dan dalil bahwa Sayyidina Ali
ditunjuk langsung oleh Nabi sebagai khalifah sesudahnya.
Klaim golongan Syi’a
seperti ini adalah klaim yang tidak effair dan mudah menjerumuskan orang awam.
Oleh karena itu perlu diluruskan apa dan bagaimana maksud hadits Ghadir
Khum tersebut. Yang jelas hadits ini jauh panggang dari api jikalau di
artikan sebagai penunjukan langsung dari Rasulullah SAW kepada Sayyidina Ali
sebagai kholifah.
Pada tahun 10 H,
Rasulullah SAW beserta para sahabat berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan
Ibadah Haji (Haji Wada’). Bersamaan dengan itu, rombongan kaum muslimin
yang dipimpin oleh Sayyidina Ali bin Abi Tholib yang di kirim oleh Rasulullah
SAW ke Yaman, telah kembali dan mereka langsung menuju ke kota Mekkah untuk
bergabung dengan Rombongan Rasulullah. Begitu Rombongan sudah mendekati tempat
dimana Rasulullah berada, Sayyidina Ali segera memasrahkan rombongannya kepada Buraidah,
sedangkan beliau pergi menemui dan melapor kepada Rasulullah. Sepeninggal
Sayyidina Ali, Buraidah langsung membagi-bagikan pakaian hasil rampasan perang
yang masih tersimpan ditempatnya, tujuannya agar rombongan kelihatan rapi saat
masuk kota dan bertemu dengan yang lain. Namun begitu Sayyidina Ali kembali
dari menemui Rasulullah dan menghampiri rombongannya, beliau terkejut dan
langsung marah-marah, sembari perintah agar pakaian-pakaian yang baru saja
dipakai oleh mereka itu dilepas dan di kembalikan ketempatnya. Karena menurutnya
yang berhak membagi-bagi hanyalah Rasulullah SAW. Namun tindakan Sayyidina Ali
tersebut membuat sebagian anak buahnya kecewa.
Ketika rombongan sampai
di tempat Rasulullah SAW, Buraidah segera menghadap Rasulullah dan melaporkan
kejadian yang baru saja mereka alami, sambil sesekali menjelek-jelekan
Sayyidina Ali. Mendengar laporan dari Buraidah, muka Rasulullah menjadi
berubah, karena beliau tahu bahwa tindakan Sayyidina Ali tersebut benar.
Kemudian Rasulullah bersabda “Wahai Buraidah! Apakah Aku tidak lebih
utama (untuk dicintai dan diikuti) oleh orang-orang mu’min daripada diri mereka
sendiri?”. Buraidah Menjawab, “Benar Ya Rasulullah”.
Lantas Rasulullah kembali bersabda,
مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ
مَوْلاَهُ (رواه الترمذى والحكيم)
“Barang siapa
menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali-pun juga pemimpinnya”. (HR.
Turmuzhi dan al-Hakim).
Selanjutnya setelah Rasulullah dan rombongan
selesai dari mengerjakan Ibadah Haji, pada saat sampai di tempat yang bernama Ghadir
Khum, Rasulullah SAW berkhotbah yang diantara isinya yaitu Rasulullah
mengulangi hadits tersebut (Man Kuntu Maulahu Fa ‘Aliyyun Maulaahu).
Hal ini karena tidak hanya Sayyidina Ali dan Buraidah saja yang berselisih
pendapat, tetapi juga ada sebagian rombongan yang masih tidak puas dan kecewa
terhadap tindakan Sayyidina Ali pada saat itu. Oleh karenanya Rasulullah SAW
mengulangi lagi sabdanya kepada Buraidah didepan khalayak ramai, agar
permasalahan tersebut tidak berlarut-larut dan dapat segera selesai.
Dari alur cerita hadits Ghodir
Khum diatas, dapat dipahami bahwa hadits tersebut tidak ada hubungannya
dengan wasiat pengangkatan Rasulullah terhadap Sayyidina Ali sebagai kholifah,
akan tetapi hanya sebagai penekanan atau pemantapan atas kepemimpinan Sayyidina
Ali terhadap rombongan yang di utus Rasulullah ke Yaman. Demikian ini karena
jika hadits Ghodir Khum diatas di pahami seperti kepahaman orang-orang
Syi’ah, maka konsekwensinya, tidak hanya Abu Bakar, Umar dan Utsman saja yang
di cap sebagai pembangkang terhadap wasiat dan perintah Rasulullah SAW, tetapi
Sayyidina Ali-pun juga seperti itu, karena mereka berempat sama-sama
membangkang alias tidak menuruti wasiat dan perintah Rasulullah SAW. Wa Allahu
A’lam. (Bidayatul Hidayah Libni Katsir)
c. Imamah
Imamah merupakan
kelanjutan dari wishayah, karena untuk melanjutkan tugas kenabian setelah Nabi
wafat, maka dibutuhkan seorang Imam. Sesuai dengan prinsip keadilan Tuhan, maka
Allah wajib menetapkan para imam yang akan bertugas sebagai pembimbing manusia,
seperti halnya seorang Nabi. Imamah menurut kaum Syi’ah adalah salah satu dari rukun-rukun
agama. Dan imam itu harus Ishmah, yaitu terpelihara dari segala
dosa dan salah, meskipun ia mampu melakukan itu, imam juga mengetahui segala
yang di langit dan di bumi, serta semua yang ada di surga dan di neraka.
Imam-pun mengetahui apa-apa yang telah, sedang dan akan terjadi (al-Kafi
1/261). Hal ini terkait dengan fungsinya sebagai pengendali (quthb)
manusia. Jelasnya, Imam di mata orang-orang Syi’ah kedudukannya adalah di atas
malaikat muqorrobin dan para rasul (bahkan hamper setara dengan Tuhan.
red). (al-Hukumah al-Islamiyah 52). Bahkan dalam Kasyful Asror 155, Khumaini
menyalahkan Nabi Muhammad SAW dengan perkataannya, “ Dan Jelas, sekiranya
Nabi benar-benar mau menyampaikan perintah mengenai imamah, sesuai apa
yang Allah perintahkan dan mengupayahkan hal itu, tentu tidak akan timbul
perselisihan, pertengkaran dan peperangan di Negara-negara Islam, dan tidak
akan timbul perselisihan-perselisihan dalam pokok-pokok agama dan
cabang-cabangnya”.
Orang-orang
Syi’ah juga mempercayai bahwa imam mereka yang masih bersembunyi atau yang
telah mati akan dihidupkan kembali oleh Allah di akhir zaman (Roj’ah).
Imam itulah yang disebut sebagai al-Qo’im. Ajaran ini terkait dengan paham
bahwa imam ketujuh (menurut syi’ah Sab’iyyah) atau kedua belas (menurut
syi’ah Itsna Asyariyah) sedang bersembunyi dan akan kembali (raj’ah)
di akhir zaman nanti untuk memimpin, mengatur dan memperbaiki dunia serta di
nilai paling sukses daripada nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi lain. Selain itu,
al-Qo’im kembali juga untuk membangkitkan Abu Bakar, Umar dan Utsman
untuk di adili karena telah merampas jabatan Khalifah dari pemiliknya, yaitu
Sayyidina Ali bin Abi Tholib. Seorang ulama Syiah yang sudah sangat terkenal, yaitu Al-Mufid, telah menulis di dalam
kitabnya, Al-Irsyad, “Apabila Al-Qaim bangkit maka para pembunuh Sayidina Al-Husain
pun akan dibangkitkan. Mereka akan dihidupkan seperti semula lalu dibunuh
dengan dihukum pancung di khalayak ramai, bahkan bapak-bapak pembunuh itu pun
akan turut dibangkitkan dan dihukum”.
Karena
keterlaluannya mereka mengenahi imamah, kedustaan mereka terhadap Sayyidina Ali
juga anak-anaknya, kepengecutan dan kelicikan mereka-lah sehingga mereka menuai
banyak kecaman, cacian dan kebencian dari orang-orang yang mereka anggap
sebagai imam-imam mereka yang ma’shum. Diantaranya adalah,
- Kata Sayyidina Ali terhadap orang-orang Syi’ah, “Janjimu tidak dapat dipegang, persahabatanmu tidak dapat di andalkan, Sungguh kalian inilah sejelek-jelek rumput kering untuk menyulut api”. (Nahjul Balaghoh 183)
- Kata Sayyidina Hasan, “Aku kenal orang-orang kuffah (Syi’ah), telah aku kutuk mereka. Dan tidak baik bagiku bersama para perusak diantara mereka, Sebab mereka tidak bisa dipegang janjinya, tidak ada jaminan (kebenaran) bagi perkataan dan perbuatan mereka. Mereka adalah orang-orang yang selalu berselang sengketa. Katanya, “Hati mereka selalu bersama kami”. Tetapi pedang-pedang mereka selalu dihadapkan kepada kami..... (Kitabul Ihtijaj Karya at-Thobarsy)
- Kata Sayyidina Husain, saat orang-orang Syi’ah berkumpul dan mengangkat Muslim bin ‘Aqil sebagai penggantinya. “Binasalah kamu wahai golongan, sengsara dan celakalah kamu, kamu berteriak meminta pertolongan kami, dengan menangis dan merengek-rengek, lalu cepat-cepat ku tolong kamu, setelah itu kamu hadapkan mata pedang kamu kepada kami dan kamu nyalakan api untuk membakar kami....... (Kitabul Ihtijaj Karya at-Thobarsy)
- Diriwayatkan oleh al-Kulainy dari Abul Hasan Musa, “Jika aku selidiki Syi’ahku, maka aku dapati mereka hanyalah berpura-pura, dan bila aku uji mereka, aku dapati mereka semua adalah orang-orang yang murtad. (Kitabur Roudloh lil Kulainy 107)
- Kata Musa al-Kadzim, “Tidak seorangpun dari mereka (gol. Syi’ah) yang mau menerima nasihatku dan yang mentaati perintahku selain Abdullah bin Ya’fur”. (Majalisul Mu’minin, Majlis Kelima 144).
Demikianlah
sedikit gambaran dari hubungan mereka dengan orang-orang yang mereka anggap
sebagai imam-imam yang ma’shum. Mereka memang selalu mengaku sebagai pecinta
ahlul bait, tetapi pengakuan itu hanyalah kedustaan (taqiyyah) semata.
Bahkan mereka sering berkhianat dan berdusta atas nama ahlul bait dan imam-imam
mereka. Inilah sebabnya Sayyidina Ali dan anak-anak keturunannya membenci dan
mengutuk mereka. Jelasnya, orang-orang yang mereka anggap sebagai imam-imam
mereka adalah orang-orang yang membenci mereka dan jauh dari ajaran dan aqidah
mereka.
d. Taqiyah
Taqiyah yaitu
menyembunyikan keyakinan sebenarnya dengan mengatakan keyakinan yang sesuai
dengan keyakinan resmi yang ada pada saat itu, demi menyelamatkan diri. Jelasnya
Taqiyah adalah berdusta demi keselamatan. Muhammad bin Ali bin
Husain bin Babawaih al-Qummy, ahli hadits Syi’ah pernah ditanya tentang firman
Allah “Inna Akromakum ‘Indaallohi Atqokum”, Ia menjawab “Orang yang
paling mulya disisi Allah adalah orang yang paling banyak melakukan taqiyyah”,
yaitu banyak berbohong demi membela Aqidah Syi’iyyah. Na’uzhu billaahi min
zhalik.
Aqidah dan
kepercayaan tentang kebenaran dan anjuran berdusta (taqiyyah) ini,
menurut akal sehat jelas sangat lucu dan aneh. Di dalam al-Qur’an juga sudah jelas-jelas
dilarang, di antaranya adalah dalam surat at-Taubah ayat 119 “Takutlah kamu
akan Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar”. Dalam surat
al-Ahzab ayat 70 “Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu akan Allah
dan berkatalah dengan perkataan yang benar”.
e. Baro’ah
Baro’ah artinya terbebas
atau lepas sama sekali dengan Khulafa’ur Rosyidin demi kesempurnaan
iman. Ya’ni pernyataan anti Abu Bakar, Umar dan Utsman, harus ditanamkan
betul dalam hati setiap muslim sebagai salah satu syarat untuk menyempurnakan
iman. Kaum Syi’ah menganggap bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan orang-orang
yang membai’at mereka sebagai kholifah, serta Istri-istri Nabi SAW terutama
A’isyah dan Hafshoh adalah orang-orang kafir. Bahkan kaum Syi’ah menyebut Abu
Bakar dan Umar adalah Thoghut dan Shonamu Quraisyin (berhala),
sementara menyebut A’isyah dan Hafshoh adalah Jibt (berhala) yang
semuanya harus dikutuk dan di la’nat. Ironinya lagi, mereka mengangggap
pembunuh Sayyidina Umar bin Khotthob, yaitu Abu Lu’lu’ah adalah pahlawan
syahid yang di jamin masuk surga.
Keyakinan seperti ini
jelas telah melenceng dari ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda,
لاَتَسُبُّوْا أَصْحَابيِ, فَوَالَّذِىْ نَفْسِيْ
بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ
وَلاَ نَصِيْفَهُ (رواه البخاري ومسلم)
“ Janganlah kalian mencaci maki sahabat-sahabatku. Demi zhat
yang menguasai jiwaku, andaikan salah satu dari kalian bersedekah emas sebesar
gunung Uhud, niscaya tidak akan bisa membandingi sedekah mereka satu mud atau
setengahnya mud”. (HR. Bukhori Muslim).
Dalam
hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda,
إِذَا رَأَيْتٌمُ الَّذِيْنَ يَسُبُّوْنَ أَصْحَابِى فَقُوْلُوْا لَعْنَةُ
اللهِ عَلىَ شَرِّكُمْ (رواه الترمذى)
“Bila
kamu melihat orang –orang mencaci sahabat-sahabatku, maka katakanlah, “Semoga
la’nat Allah atas kejahatanmu”. (HR. Turmuzhi)
f. Nikah Mut’ah
Mereka menghalalkan nikah
Mut’ah atau Kawin Kontrak, yaitu
pernikahan yang di batasi dengan
jarak waktu tertentu dan dengan upah tertentu pula. Padahal menurut imam
ke-enam mereka, yaitu Ja’far Shodiq bin Muhammad Baqir ketika di tanya tentang
nikah mut’ah, beliau menjawab “Nikah Mut’ah itu Zina”. Bahkan
Rasulullah SAW sendiri bersabda tentang nikah mut’ah yang artinya, “Diriwayatkan dari
Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan
nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat,
oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera
lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada
wanita yang kalian mut’ah” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban). Sayyidina Ali Juga pernah berkata.
“Bahwa Rasulullah s.a.w. melarang nikah
mut’ah ketika perang Khaibar” (Hadis ini dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim).
E.
Daftar Perbedaan Antara Faham Syi’ah Dan Faham Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah
HAL
|
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
|
SYI’AH
|
Rukun Islam
|
Syahadat,
Sholat, Puasa, Zakat, dan Haji
|
Sholat, Puasa, Zakat, Haji dan
Wilayah
|
Rukun Iman
|
Iman
kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, kepada
Kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir, dan iman kepada
Qodlo’ dan Qadar, baik-buruknya dari Allah
|
At-Tauhid, An Nubuwwah,
Al-Imamah, Al-Adlu dan Al Ma’ad
|
Syahadat
|
Dua kalimat syahadat
|
Tiga
kalimat syahadat
Asyhadu
an Laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, ditambah lagi
dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.
|
Kedudukan Ali
|
Sebagai Khalifah ke IV
dan termasuk salah satu dari Khulafaur Rasyidin.
|
Sebagai Imam yang
ma’shum (terjaga dari salah dan dosa) dan memiliki
sifat-sifat Ketuhanan
|
Kedudukan Abu Bakar,
Umar dan Usman
|
Sebagai Khalifah ke I,
II dan III dan termasuk Khulafaur Rasyidin
|
Kekhalifahannya tidak
sah, karena merampas hak dari pemiliknya yang
sah yaitu Ali.
Oleh karena itu keduanya harus dikutuk dan di
la’nat
|
Kedudukan Khilafah
|
Siapapun dapat
menduduki jabatan ini asal memenuhi syarat dan dengan cara yang sah.
|
Khalifah atau lebih
tepat Imam atau penjaga dan pelaksana syari’at harus dari keturunan Ali, Mempunyai sifat-sifat Ketuhanan dan kedudukannya lebih tinggi
dari manusia biasa, karena Ia sebagai perantara antara Tuhan dan manusia,
sehingga apapun yang dikatakan atau diperbuat dianggap benar, dan yang
dilarang dianggap salah
|
Ijma’
|
Sebagai sumber hukum
ketiga.
|
Ijma hanya dapat
diterima apabila direstui oleh Imam, karena Imam adalah penjaga dan pelaksana
Syari’at.
|
Hadits
|
Sebagai sumber hukum
kedua dan
dapat diterima bila diriwayatkan oleh orang yang
terjamin integritasnya
|
Hanya hadits yang
diriwayatkan oleh Ulama Syi’ah saja yang diterima.
|
Ijtihad
|
Mengakui adanya
Ijtihad sebagai sarana pengembangan hukum
|
Ijtihad tidak
diperkenankan karena segala sesuatu harus bersumber dan tergantung Imam.
|
Nikah Mut’ah
|
Perzinaan
yang dilegalkan atas nama agama. Selain dipandang
merendahkan derajat wanita juga menelantarkan anak/keturunan.
|
Dihalalkan dan
dilaksanakan serta merupakan identitas dari golongan Syi’ah Imamiah.
|
Tabel daftar perbedaan
antara Faham Syi’ah Dan Faham Ahlussunnah
Wal Jama’ah yang tertulis di sini adalah perbedaan yang menonjol dan hanyalah
sebagian kecilnya saja. Apabila
tokoh-tokoh Syiah sering mengaburkan perbedaan-perbedaan tersebut, serta
memberikan keterangan yang tidak sebenarnya, maka hal tersebut dapat kita
maklumi, sebab menurut mereka, menyembunyikan kebenaran yang sesuai dengan
keyakinan mereka baik untuk menyelamatkan diri atau untuk jalan keberhasilan
dalam perjuangan adalah diperbolehkan. Oleh karena itu, sebagian besar
orang-orang yang masuk Syiah adalah orang-orang yang tersesat, yang tertipu
oleh bujuk rayu tokoh-tokoh Syiah. Ironinya kalau hanya karena agar boleh nikah
mut’ah atau karena agar mendapatkan diskon dalam menjalankan sholat wajib yang
seharusnya lima waktu, bisa menjadi tiga waktu, lalu berbondong-bondong masuk Syi’ah
tanpa memikirkan keselamatan abadi, yaitu keselamatan kelak di akhirat.
F.
Pendapat Para Ulama Mengenahi Syi’ah
Imamiyah
Setelah menyimak, menela’ah dan
memahami sekilas tentang Syi’ah, tentunya pembaca bisa menilai dan menentukan
Islam yang bagaimana yang pantas disebut Islam dan harus di ikuti. Apa Islam
Ahlussunnah wal Jama’ah yang rohmatal lil ‘aalamin, atau Syi’ah yang dlollun
mudlillun, penuh dengan tipu muslihat, caci maki dan kebencian?
Berikut ini penilaian beberapa ulama
tentang Syi’ah Rofidloh atau Imamiyah yang di sarikan dari kitab Aqo’id
Syi’ah fil Mizan karangan DR. Muhammad Kamil al-Hasyimi dan kitab-kitab
lainnya,
- Imam Syafi’i mengatakan, “Saya belum pernah melihat satupun kaum yang paling berani bersaksi dusta selain Rofidloh”.
- Imam Maliki ketika ditanya tentang Syi’ah, beliau berkata, “Jangan mengajak bicara mereka, dan janganlah meriwayatkan sesuatupun yang sumbernya dari mereka, karena mereka itu pendusta”.
- Imam Hanafi berkali-kali mengatakan, “Siapa saja yang ragu-ragu akan kekufuran mereka (kaum Syi’ah), maka sungguh dia sendirilah yang kafir”.
- Syarik, seorang Qodli Kuffah yang semasa dengan Imam Ats-Tsauri dan Imam Hanafi pernah berkata, “Aku selalu mengambil ilmu dari setiap orang yang aku temui kecuali dari Rofidloh, karena mereka itu telah memalsukan hadits dan menjadikannya agama”. (Minhajus Sunnah Juz 1)
- Pernyataan Imam Hambali tentang Syi’ah. Al-Khollal berkata, “Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata, “Aku bertanya kepada Ayahku tentang hokumnya orang yang menghujat salah satu dari sahabat Nabi SAW. Ayahku menjawab “Orang tersebut telah keluar dari Islam”
- Al-A’masy berkata “Aku menemukan manusia yang tidak pantas dijuluki kecuali hanya dengan julukan “pendusta”, oleh karena itu, para imam Rohimahumullah seperti Imam Syafi’i dan Imam Hanafi sepakat menolak dan tidak menerima kesaksian Syi’ah, karena mereka termasuk orang-orang pendusta”.
- Pernyataan Imam Qurtubi tentang Syi’ah, “Sungguh benar ucapan dan pena’wilan Imam Malik (pada Surat al-Fath ayat 29), “Barang siapa berani menghujat salah satu sahabat Nabi SAW, maka orang tersebut telah berani menentang Allah SWT dan mengingkari Syari’at Islam” (Tafsir al-Qurtubi 16/297).
- Abdullah bin Mubarrok berkata, “Agama itu bagi ahli hadits, kalam itu bagi ahlir Ra’yi, sedangkan dusta itu bagi Rofidloh” (Minhajul I’tidal 480. ad-Zhahabi).
- Abu Zur’ah mengatakan, “Jikalau engkau melihat seseorang mencela salah seorang dari sahabat-sahabat Nabi, maka ketahuilah bahwasanya dia adalah orang Zindiq. Demikian itu karena bahwasanya Rasul itu benar, apa yang di bawah oleh beliau juga benar, sedangkan yang menyampaikan apa yang dibawah oleh Rasul kepada kita, tidak ada lain hanyalah para sahabat, sementara orang-orang Zindiq itu mencela syuhudana (para sahabat), karena memang mereka bermaksud membatalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Makanya celaan itu lebih pantas untuk mereka”. (Risalatu Robbil Alamin 12).
- Imam at-Thohawi dalam kitabnya Syarah Thohawiyah 528 mengatakan, “Kami mencintai semua sahabat Rasulullah SAW, dan kami tidak gegabah dalam mencintai mereka, dan kamipun tidak menyatakan berlepas diri dari salah satupun dari mereka. Bahkan kami membenci orang-orang yang membenci mereka dan yang mengatakan mereka tidak baik. Kami tidak pernah menyebut mereka kecuali dengan sebutan yang baik. Karena mencintai mereka itu termasuk agama, iman dan ihsan, sedangkan membenci mereka itu kufur, nifak dan dzolim”.
- Qodli Abu Ya’la mengatakan, “Menurut Fuqoha’, orang yang mencaci maki para sahabat Nabi SAW dan menganggapnya itu halal adalah kufur, kalau tidak menganggapnya halal maka ia fasiq tidak kufur”. (as-Shorimul Maslul libni Taimiyah 579).
- Dan masih banyak lagi para ulama baik ulama salaf maupun kholaf yang menyatakan kufurnya golongan Syi’ah Rofidloh.
G. Fatwa
Mui Tahun 1984 Tentang Aliran Sesat Syiah
Bismillahirrahmaanirrahiim
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat
Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 M merekomendasikan
tentang faham Syi’ ah sebagai berikut:
Faham Syi’ah sebagai salah satu
faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok
dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamm’ah) yang dianut oleh Umat Islam
Indonesia.
Perbedaan itu di antaranya :
- Syi’ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait, sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu musthalah hadis.
- Syi’ah memandang “Imam” itu ma‘shum (orang suci), sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
- Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.
- Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlussunnah walJama’ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi da’wah dan kepentingan umat.
- Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlussunnah walJama’ah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).
Mengingat perbedaan-perbedaan pokok
antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama
mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia
menghimbau kepada umat Islam Indonesia
yang berfaham ahlussunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap
kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah
Ditetapkan : Jakarta, 7 Maret 1984 M / 4
Jumadil Akhir 1404 H
KOMISI FATWA MAJELIS
ULAMA INDONESIA
Ketua Sekretaris
ttd ttd
Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML H. Musytari
Yusuf, LA
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an
Tafsir Ibnu
Katsir
Tafsir
at-Thobari
Tafsir
al-Alusi
Tarikh
at-Thobari
Shohih
Bukhori
Shohih
Muslim
Syarahun Nawawi ‘Alaa Muslim
Aqo’id
Syi’ah fil Mizan karangan
DR. Muhammad Kamil al-Hasyimi
Tanya Jawab
tentang Aliran Syi’ah dan Pemikiran-Pemikiran Wahabi. Tim Penerjemah Ribath
Darusshohihain Pondok Pesantren al-Anwar Sarang.
Dialog Apa
dan Siapa Syi’ah. Ahmad Zein al-Kaf
As-Syi’ah
was Sunnah. Prof. Dr.
Ihsan Ilahi Dzohiri, MA