Kamis, 30 April 2015

KH. Hasyim Asy’ari



Kiai Hasyim, panggilan akrab KH Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan dari keluarga kiai. Beliau dilahirkan pada hari Selasa, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan 14 Februari 1871 M di lingkungan pesantren Kiai Ustman, Desa Nggedang, sebelah utara Jombang, dan wafat pada 25 Juli 1947.


Hasyim kecil lebih banyak mendapat pendidikan langsung dari orangtuanya, KH Asy’ari. Silsilah keturunan beliau berasal dari Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng (kakek kesembilan). Salah seorang putra Lembu Peteng bernama Jaka Tingkir, yang juga disebut Kerebet.

Setelah berusia 14 tahun, Hasyim kecil mulai berkelana dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Mula-mula menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tubang. Pindah lagi melanjutkan ke Pesantren Treggilis, Semarang. Pada tahun 1891 belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, yang diasuh KH Ya’qub, seorang tokoh yang dikenal berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama.

Selama belajar di Pesantren Siwalan, tampaknya tindak-tanduk pemuda Hasyim selalu diperhatikan, hingga santri yang sangat potensial ini pada 1892 M, beliau yang waktu itu berusia 21 tahun dijadikan menantu oleh Kiai Ya’qub, dijodohkan dengan Chodijah. Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim bersama istrinya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dan bermukim di sana. Sesudah tujuh bulan berada di Kota Suci, istrinya melahirkan putra pertama dan diberi nama Abdullah. Tidak berapa lama, istri yang sangat dicintai itu wafat di Makkah. Belum genap 40 hari sepeninggal istrinya, Abdullah, putranya yang masih bayi menyusul ibunya, dipanggil Allah SWT. Kemudian pada tahun berikutnya, beliau kembali ke Indonesia.

Pada 1893, Kiai Hasyim berangkat lagi ke Makkah bersama Anis, adik kandungnya. Selama di sana, beliau berguru kepada Syaikh Machfudz At-Tarmasy, putra Kiai Abdullah, pemimpin Pesantren termas, Pacitan, Jatim. Di kalangan kiai di Jawa, Syaikh Machfudz dikenal sebagai seorang yang sangat ahli dalam ilmu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari. Dari Kiai Machfudz, akhirnya Kiai Hasyim mendapat ijazah untuk mengajar Shahih Al Bukhari. Guru lainnya, adalah Syaikh Ahmad Chatib Minangkabau, seorang sufi, yang mempunyai banyak murid, diantaranya KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. M. Bisri Syansuri, KH. Ahmad Dahlan, tokoh Muhammadiyah, dan Syaikh Muhammad Nur Mufti dari Kerajaan Langkat.

Karenanya, Kiai Hasyim dikenal sebagai ulama pesantren yang mempunyai spesialisasi dalam ilmu hadits. Karena kealimannya dalam ilmu hadits ini, banyak murid berdatangan dari berbagai pelosok daerah, terutama pada bulan Ramadhan. Bahkan dari tokoh ulama yang datang mengaji, terdapat seorang tokoh kiai yang menjadi gurunya, yakni KH. Muhammad Cholil Bangkalan, yang akrab dikenal dengan Mbah Cholil. Selama remaja Kiai Hasyim memang pernah berguru kepada Mbah Cholil Bangkalan, yang dikenal alim dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab).

Saat Kiai Hasyim mendirikan NU, dialog simbolik antara guru dan murid itu terjadi secara intensif. Diceritakan, suatu ketika KH As’ad Syamsul Arifin, salah seorang santri Mbah Cholil diutus ke Tebuireng, Jombang membawa sebatang tongkat dan tasbih, yang diberikan Mbah Cholil kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Tongkat itu isyarat kepemimpinan, sedang tasbih berarti ibadah kepada Allah.

Sejak itulah, Kiai Hasyim langsung menyetujui berdirinya Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Padahal, sebelumnya berkali-kali KH Abdul Wahab Chasbullah mendesak Kiai Hasyim agar segera merestui berdirinya NU. Tapi, Kiai Hasyim tidak segera menjawab, melainkan menunggu petunjuk dari Allah (melalui shalat istikharah). Kedatangan pemuda As’ad Syamsul Arifin dengan “oleh-olehnya” itulah yang ditunggu-tunggu KH Hasyim Asy’ari. 
Sumber. www.masjidjami.com