KH. SHOLEH DARAT, Pelopor Penerjemahan Al-Qur’an
Peran
Kiai Soleh Darat dalam menyebarkan Islam tak hanya semasa hidupnya maupun
warisan pesantrennya. Sebab murid-muridnya adalah para pendiri organisasi
Islam, pengasuh pesantren dan pendakwah agama yang terus menghasilkan
kader-kader da’i berikutnya. Sampai akhir zaman.
Wali ini yang hidup sezaman dengan dua waliyullah besar lainnya, Syekh
Nawawi Al-Bantani dan Kiai Kholil Bangkalan, Madura ini disebut sebagai gurunya
para ulama tanah Jawa.
Murid-muridnya itu, diantaranya, KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul
Ulama), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Syaikh Mahfudh Termas
Pacitan (pendiri Pondok Pesantren Termas), KH Idris (pendiri Pondok Pesantren
Jamsaren Solo), KH Sya’ban (ahli falak dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom
dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Pondok Pesantren Watucongol,
Muntilan), KH Munawir (Krapyak Yogyakarta), KH Abdul Wahab Chasbullah Tambak
Beras Jombang, KH Abas Djamil Buntet Cirebon, KH Raden Asnawi Kudus, KH Bisri Syansuri
Denanyar Jombang dan lain-lainnya. Para murid itu
ada yang belajar pada Kiai Soleh Darat sewaktu masih di Mekah maupun setelah di
Semarang. ”Bisa dikatakan, Kiai Soleh Darat adalah embahnya para ulama di Jawa,
karena menjadi guru dari guru ulama yang ada sekarang,” terang KH Ahmad Hadlor
Ihsan, mantan Rois Syuriyah PCNU Kota Semarang yang juga pengasuh Ponpes Al-Islah
Mangkang, Tugu, Semarang.
Semasa hidupnya, selain mengajar masyarakat awam, Kiai Soleh Darat
juga aktif mengisi pengajian di kalangan priyayi. Di antara jamaah pengajiannya
adalah Raden Ajeng Kartini, anak Bupati Jepara. RA
Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru
ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an. Ketika
mengikuti pengajian Kiai Soleh Darat di pendopo Kabupaten Demak yang bupatinya
adalah pamannya sendiri, RA Kartini sangat tertarik dengan Kiai Soleh Darat.
Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.
RA
Kartini lantas meminta romo gurunya itu agar Al-Qur'an diterjemahkan. Karena
menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.
Pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan
Al-Qur’an. Dan para ulama waktu juga mengharamkannya. Mbah Shaleh Darat
menentang larangan ini. Karena permintaan Kartini itu, dan panggilan untuk
berdakwah, beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf Arab
pegon sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab
tafsir dan terjemahan Al-Qur’an itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir
Al-Qur’an. Tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.
Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai
surat Ibrahim.
Kitab
itu dihadiahkannya kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM
Joyodiningrat, Bupati Rembang. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti
yang sesungguhnya.
Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap
bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia
menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah
menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Melalui
kitab itu pula Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Yaitu
Surat Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah
membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minadh-Dhulumaati ilan
Nuur).
Kartini
terkesan dengan kalimat Minadh-Dhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap
kepada cahaya karena ia merasakan sendiri proses perubahan dirinya.
Kisah ini sahih, dinukil dari Prof KH Musa al-Mahfudz Yogyakarta, dari Kiai
Muhammad Demak, menantu sekaligus staf ahli Kiai Soleh Darat.
Dalam
surat-suratnya kepada sahabat Belanda-nya, JH Abendanon, Kartini banyak sekali mengulang-ulang
kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada
Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht” menjadi
kehilangan maknanya setelah diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat “Habis
Gelap Terbitlah Terang”.
Mr.
Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut
sebagai judul dari kumpulan surat Kartini. Tentu
saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari
Al-Qur’an. Kata “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“ dalam bahasa Arab tersebut, tidak
lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari
kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (petunjuk,
hidayah atau kebenaran).
Kitab Tafsir Kiai Soleh itu, walau tidak selesai 30 juz Al-Qur'an, dicetak
pertama kali di Singapura pada tahun 1894 dengan dua jilidan ukuran folio. Sehingga walau pengarangnya telah wafat, pengajian kitab ini jalan
terus. Karena referensi pribumi Jawa yang bermukim di tanah melayu. Bahkan kaum
muslim di Pattani, Thailand Selatan juga memakai kitab ini.
Hingga
kini Karya-karya Mbah Soleh Darat masih dibaca di pondok-pondok pesantren dan
majelis taklim di Jawa. Sebagian besar bukunya sampai sekarang terus
dicetak ulang oleh Penerbit Toha Putera, Semarang.
Sederhana
plus Progresif
Sebagaimana umumnya ulama, Kiai Soleh Darat sangat bersahaja
dan tawadhu. Akhlaknya sangat terjaga dari kesombongan. Dalam semua kitabnya,
ia selalu selalu merendah dan menyebut dirinya sebagai orang Jawa awam yang tak
faham seluk-beluk Bahasa Arab.
Di prolog kitabnya selalu tertulis “buku ini
dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya”. Dalam
pendahuluan Terjemahan Matan al-Hikam terbitan Toha Putra Semarang tertera:
“ini kitab ringkasan dari Matan al-Hikam karya al-Allamah al-Arif billah
Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Atha’illah. Saya ringkas sepertiga dari asal agar
memudahkan orang awam seperti saya. Saya tulis dengan Bahasa Jawa agar cepat
dipahami oleh orang yang belajar agama atau mengaji”.
Bahkan, meski beliau keturunan Nabi Muhammad (sayyid/habib),
yang nasabnya dari Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) putra Raden Rahmat
(Sunan Ampel), hal itu tak pernah dikatakannya. Bagi Mbah Soleh, orang
dihormati karena ilmu dan amalnya. Bukan garis keturunannya.
Kiai Soleh Darat selalu menekankan kepada muridnya agar giat
menuntut ilmu. Dia berkata: “Inti sari Al-Qur’an adalah dorongan kepada umat
manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia
dan akhirat”.
Diperingatkannya, orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dalam keimanannya,
maka akan jatuh pada keyakinan sesat. Sebagai misal, paham kebatinan yang
mengajarkan bahwa amal yang diterima Allah adalah amaliyah hati yang
dipararelkan dengan paham Manunggaling Kawulo Gusti-nya Syekh Siti Jenar dan
berakhir tragis pada perilaku taqlid buta (anut asal ikut).
”Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin (ahli
hakikat),” demikian tegasnya. Kata itu tersurat dalam Kitab Tarjamah
Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid karya Mbah Soleh Darat. Lebih jauh
beliau peringatkan masyarakat tak terpesona oleh orang yang mengaku memiliki
ilmu hakekat tapi meninggalkan syariat seperti sholat dan amalan fardhu
lainnya. Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan,
demikian inti petuah beliau.
Tauhid
yang Tepat
Kiai
Soleh Darat dikenal sebagai ahli ilmu kalam. Ia adalah pendukung teologi Imam
Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturudi. Dalam kitab Tarjamah
Sabil al-’Abid ‘ala Jauharah at-Tauhid dia mengemukakan penafsirannya atas
sabda Rasulillah SAW mengenai terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan
sepeninggal Nabi, dan hanya satu golongan yang selamat.
Menurutnya, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan yang selamat
adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh Rasulillah SAW,
yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah Waljamaah Al-Asy’ariyah,
dan Maturidiyah.
Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar
dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena
memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak
setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta
hakiki atas segala perbuatan. Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama terus dikembangkan hingga
akhir hayatnya.
Ikon Kota Semarang
Menurut Ketua Pengajian Ahad Pagi KH Muhamamd Muin, Kiai Soleh Darat lahir
di Dukuh Kedung Jumbleng Kecamatan Mayong, Jepara, sekitar tahun 1820 (1235 H).
Beliau wafat di Semarang, tanggal 18 Desember 1903/28 Ramadhan 1321
H dalam usia 83 tahun.Kata ''Darat'' di belakang nama Kiai Soleh adalah sebutan
masyarakat untuk menunjukkan tempat dia tinggal, yakni di Kampung Darat, Kelurahan
Dadapsari, Semarang Utara.
Ayahnya,
KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang
melawan Belanda di wilayah pesisir utara. Setelah mendapat bekal ilmu agama
dari ayahnya, Soleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama
lain.
Lalu bersama ayahnya pergi ke Singapura, belanjut pergi haji sekaligus
melanjutkan studi di Mekah. Setelah ayahnya wafat di tanah suci, Soleh berhasil
mendapat ijazah dari ulama terkemuka di Mekah dan ia lalu menjadi guru
besar di sana.
Banyaknya umat yang hadir di haulnya, memang menjadi tengara kebesaran namanya.
Tak dapat dipungkiri, ulama besar itu memang telah menjadi ikon Semarang di
masa lalu.
Mengingat beliau termasuk perintis kemerdekaan, tokoh perlawanan terhadap
penjajah melalui ilmu pengetahuan, selayaknya diberi gelar Pahlawan sebagaimana
sebagian para muridnya.
Penulis
: Muhammad ichwan
Redaktur
: Syaifullah Amin
Suber : NU Online