Syaikh Nawawi Banten
Kemasyhuran dan
nama besar Syaikh Nawawi Banten kiranya tidak perlu diragukan lagi. Bahkan
sering terdengar di identikan kebesarannya dengan Imam Nawawi (Muhyiddin Abu
Zakariya Yahya bin Syarof Annawawi (wafat 676 H/1277 M). Apabila KH. Hasyim
Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dalam sejarah
berdirinya organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yaitu NU, maka Syaikh
Nawawi Banten adalah guru besarnya. Pernah suatu ketika KH. Hasyim Asy’ari
bercerita tentang kehidupan Syaikh Nawawi dan mengenangnya sampai meneteskan
airmata karena besarnya cinta beliau terhadap guru besarnya itu.
Syaikh Nawawi
Banten lahir di Desa Tanara Serang Banten, pada tahun 1230 H/1815 M. Nama
lengkapnya adalah Muhammad Nawawi bin Umar Ibnu Arobi bin Ali. Beliau Meninggal
di Makkah pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M, dalam usianya yang ke 84 tahun.
Beliau di makamkan di ma’la dekat makam Sayyidah Siti Khodijah Istri Rasulullah
saw.
Sewaktu kecil
beliau sempat belajar kepada ayahandanya sendiri. Kemudian pada usia 15 tahun,
beliau pergi ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Rupanya kesempatan baik
ini tidak disia-siakan oleh beliau untuk belajar dan memperdalam ilmu kalam,
nahwu, shorof, balaghoh, mantiq, ilmu hadits, tafsir dan terutama sekali ilmu
fiqh, kepada tokoh-tokoh ulama’ pada zamannya, diantaranya adalah, Syaikh Ahmad
Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyathi, Syaikh Muhammad Khotib Duma Alhambali, Syaikh
Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Almaliki, Syaikh Zainuddin Lombok, Syaikh Ahmad
Khothib Sambas, Syaikh Syihabuddin, Syaikh Abdul Ghoni Birma, Syaikh Abdul
Hamid Daghostani, Syaikh Yusuf Sumbulawini, Syaikh Abdus Shomad bin Abdur
Rahman Palembang, Syaikhoh Fathimah binti Syaikh Abdus Shomad Palembang, Syaikh
Yusuf bin Arsyad Banjar, Syaikh Mahmud Kinan Palembang, Syaikh Aqib bin
Hasanuddin Palembang dan lain-lain.
Setelah kurang
lebih tiga tahun lamanya belajar di Makkah, Syaikh Nawawi kembali ke Tanah air
dengan bekal khazanah ilmu agama yang sangat memadai untuk membantu ayahnya mengajar
santri-santri di Pesantrennya. Namun keberadaan beliau di Tanah air ini tidak
begitu lama, karena selang beberapa tahun beliau memutuskan kembali lagi ke
Makkah dan menetap disana.
Di Makkah beliau
memperdalam lagi ilmu-ilmu agamanya selama kurang lebih 30 tahun, dan pada
tahun 1860, beliau mulai mengajar dilingkungan Masjidil Haram, kemudian pada
tahun 1870 kesibukannya bertambah dengan kegiatan menulis dan mengarang kitab.
Selama hidup, beliau mengarang hampir 200 an kitab, namun hanya beberapa saja
yang sudah berhasil diterbitkan, diantaranya adalah, Targhibul Musytaqin,
Fatchus Shomadil ‘Alim, Madarijus Su’ud ila Iktisa’il Burud, Syah Muroqil
Ubudiyyah, Hidayatul Adzkiya’ ila Thoriqil Auliya’, Fatchul Majid fi Syarhi
Durril Farid, Bughyatul ‘Awam fi Syarhi Maulidi Sayyidil Anam, Syarah Tijan
Darori, Syarah Mishbahuldz Dzulmi ‘Alan Nahjil Atammi, Nashoihul Ibad,
Hidayatus Shibyan Syarah Fathur Rahman fi Tajwidil Qur’an, Qothrul Ghoits fi
Syarhi Masaili Abil Laits, Mirqodus Su’udit Tashdiq Syarah Sulam Taufiq,
Atstsimarul Yani’ah fir Riyadlil Badi’ah, Tanqihul Qoulil Hatsits fi Syarhi
Lubabil Hadits, Bahjatul Wasa’il bi Syarhi Masail, Fathul Mujib Syarah
Manasikil ‘Allamah Alkhothib, Nihayatuz Zain Irsyadil Mubtadiin, Alfushushul
Yaqutiyyah ‘alar Raudlotil Bahiyyah fi Abwabit Tashrifiyyah, dan lain-lain.
Syaikh Nawawi
Banten adalah salah seorang ulama’ yang luar biasa, santun, produktif dan
merupakan sosok teladan bagi anak bangsa, juga termasuk orang yang berhasil
memprkenalkan teologi Asy’ariyyah sebagai sistem teologi yang kuat dinegeri
ini. Menurut beliau tentang dalil naqli dan dalil ’aqli seharusnya digunakan
bersama-sama, tetapi jika terjadi pertentangan diantara keduanya maka dalil
naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang
terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh
dalil naql.
Sumber, Risalah NU, Mutiara Ulama’ Nusantara dan dari sumber-sumber lain.
Sumber, Risalah NU, Mutiara Ulama’ Nusantara dan dari sumber-sumber lain.